Rabu, 30 Maret 2011

AKANKAH S2 KEPERAWATAN TUMBUH SEPERTI JAMUR DI MUSIM HUJAN?

Oleh: Novita Kurnia Sari*

Dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 45 menyebutkan bahwa dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sebagai wujud implementasi dari Undang-Undang tersebut, Departemen Pendidikan Nasional akan melaksanakan Sertifikasi Dosen. Pelaksanaan Sertifikasi Dosen dilakukan melalui penilaian portofolio sesuai Permen Diknas Nomor 47 Tahun 2009 tentang Sertifikasi Pendidik Untuk Dosen.



Sejalan dengan pernyataan kebijakan diatas, berdirinya 389 DIII Keperawatan (Pusdiknakes, 2009) dan 305 SI Keperawatan (DIKTI, 2010), berarti hampir 700 institusi pendidikan keperawatan menjadi dilema tersendiri jika dilihat dari sisi jumlah dan kualifikasi tenaga dosen. Mari kita berhitung! Apabila setiap institusi pendidikan setidaknya mempunyai 20 dosen, maka ada 14.000 dosen keperawatan di seluruh Indonesia. Hal ini berarti ada belasan ribu dosen keperawatan yang wajib menyelesaikan proses sertifikasinya dalam 2 tahun kedepan mengingat di tahun 2012 semua dosen harus tersertifikasi. Mungkinkah? Ini pertanyaan berat yang harus dicarikan jawabannya.
Tantangan lain bagi dosen keperawatan adalah yang disebutkan pada UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 46 ayat 1 bahwa Kualifikasi akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian. Selanjutnya pasal 46 ayat 2 menyebutkan, Dosen memiliki kualifikasi akademik minimum: a. lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan b. lulusan program doktor untuk program pascasarjana. Mengapa hal ini menjadi tantangan? Ya, karena kalau harus sesuai dengan bidang keahlian maka institusi pendidikan harus bekerja ekstra keras terkait dengan peningkatan sumber daya tenaga dosen. Karena untuk persyaratan akreditasi pun dosen harus memiliki kualifikasi minimum S2. Oleh karena itu program pascasarjana keperawatan harus segera didirikan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan S2 keperawatan agar dosen keperawatan segera bisa mengikuti sertifikasi.
Saat ini di Indonesia, program pascasarjana (S2) keperawatan baru ada di Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, Universitas Airlangga, Universitas Sumatera Utara dan Universitas Hasanudin. Sedangkan untuk program doktoral baru ada di Universitas Indonesia saja. Kalau melihat fenomena ini, sepertinya di tahun 2012 akan ada ribuan dosen keperawatan yang dianggap tidak memenuhi kualifikasi karena belum bisa menyelesaikan program pascasarjananya. Maka salah satu solusi yang harus segera diambil dan dijalankan saat ini adalah didirikannya lagi program S2 di beberapa universitas di Indonesia.
AIPNI (Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia) sudah memulai langkah ini dengan menunjuk beberapa institusi pendidikan tinggi keperawatan diantaranya PSIK FKIK UMY untuk membuka program S2. PSIK FKIK UMY merupakan satu-satunya institusi pendidikan tinggi keperawatan swasta di Jawa Tengah dan DIY yang sudah terakreditasi B. PSIK FKIK UMY sudah memiliki empat guru besar dengan sarana dan prasarana yang mendukung sehingga dipercaya untuk membuka S2 keperawatan peminatan keperawatan medikal bedah.
Banyaknya S2 keperawatan yang dikhawatirkan akan bermunculan seiring dengan adanya kebijakan sertifikasi dosen ini justru akan menjadi polemik tersendiri baik bagi keperawatan sendiri maupun non keperawatan. Disaat eksistensi perawat sedang dibangun dan dibenahi agar tetap berkibar, kebijakan dibukanya S2 keperawatan ini akan menjadi pertanyaan banyak kalangan. Namun kebijakan ini sepertinya harus tetap diambil sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme pelayanan keperawatan. Walaupun akan ada banyak tantangan.
Sejalan dengan dibukanya S2 keperawatan dibeberapa institusi maka harus ada mekanisme yang benar-benar bisa mengatur dan menjaga kualitas proses pembelajaran dan mutu lulusannya. Kita tentu tidak ingin terjadi lagi, euphoria pendirian S2 keperawatan. Seperti yang terjadi dalam satu decade terakhir, menjamurnya institusi pendidikan tinggi keperawatan. Dampaknya antara lain: Pertama, mutu lulusan perawat yang semakin menurun karena banyaknya institusi yang menyelenggarakan proses belajar asal-asalan; Kedua, persaingan harga antar institusi yang berakibat pada mahalnya harga bangku perkualiahan ataupun bangkrutnya beberapa institusi pendidikan karena tidak kuat bersaing dengan institusi yang lebih besar; Ketiga, Jika mutu lulusan perawat rendah maka teorinya kualitas pelayanan keperawatan menjadi semakin rendah, ini hal paling ironis yang tidak diinginkan semua pengguna pelayanan keperawatan bukan?
Apalagi jika kemudian dampak ini menimpa S2 keperawatan yang notabene sebagai pendidik tenaga perawat Indonesia. Dibukanya era perdagangan bebas, memungkinkan perawat luar negeri bebas mengepakkan sayapnya di Indonesia. Perawat Indonesia akan menjadi pengangguran karena profesionalisme dan kualitas dipertanyakan mengingat proses pendidikannya yang tanpa pengawasan termasuk para dosennya. Maka sebagai tanggung jawab moral dalam menjaga kualitas dan meningkatkan profesionalisme keperawatan, kita harus mengambil langkah nyata sebagai upaya penyelamatan jika boleh disebut begitu-.
Sebenarnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar kualitas penyelenggaraan pendidikan ini bisa tetap terjaga. Pertama, pemerintah sebagai pemegang kendali regulasi di negara ini membuat mekanisme yang jelas melalui peraturan pemerintah agar bisa diketahui oleh public secara tranparan. Kedua, sebaiknya pemerintah memfasilitasi berdirinya konsil keperawatan agar pendidikan keperawatan selalu bisa diawasi dan dijaga kualitasnya oleh pihak yang benar-benar memahami profesi perawat dan keperawatan. Selama konsil keperawatan belum terbentuk, maka peran PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) dituntut dalam usahanya untuk ikut serta bertanggung jawab dalam pengawasan penyelenggaraan pendidian ini. Terkait dengan hal ini maka RUU Keperawatan pun seharusnya bisa disahkan dalam waktu dekat. Kompetensi dan sertifikasi perawat diatur didalamnya, sehingga terdapat kesinambungan antara proses pendidikan dengan perkembangan profesi itu sendiri. Ketiga, peran dewan pendidikan seperti yang sudah disebutkan dalam UU Sisdiknas yang merupakan lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsure masyarakat yang peduli pendidikan, harus dimaksimalkan keberadaannya. Keempat, masyarakat hendaknya juga dilibatkan dalam proses pengawasan penyelenggaraan pendidikan termasuk S2 keperawatan. Karena sesuai dengan amanat UUD 1945 masyarakat wajib melakukan pengawasan dalam usahanya untuk ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sekarang saatnya masyarakat Indonesia sebagai warga negara yang baik menunjukkan kepeduliannya dengan ikut berperan serta dalam upaya memperbaiki proses penyelenggaraan pendidikan dan pengawasannya. Salah satu contohnya masyarakat harus selektif dalam memilih institusi pendidikan, misal memilih institusi yang sudah terakreditasi.

*keterangan:
Penulis adalah dosen PSIK FKIK UMY yang sedang studi lanjut di Program Pasca Sarjana Magister Keperawatan di Universitas Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

Download MARS PPNI

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons