Kumpulan Askep

ASUHAN KEPERAWATAN HEPATITIS

I. KONSEP DASAR PENYAKIT

A. DEFINISI

Hepatitis adalah infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahan klinis, biokimia serta seluler yang khas (Brunner & Suddarth, 2001).

Hepatitis virus akut adalah penyakit infeksi yang penyebarannya luas, walaupun efek utamanya pada hati (Price & Willson, 2006).

Hepatitis virus akut adalah penyakit infeksi virus hepatotropik yang bersifat sistemik & akut (Mansjoer, dkk, 2000).

B. ETIOLOGI
Paling sedikit ada 6 jenis virus penyebab hepatitis (masing-masing menyebabkan tipe hepatitis yang berbeda), yaitu :
1. Virus hepatitis A (HAV).
2. Virus hepatitis B (HBV).
3. Virus hepatitis C (HCV).
4. Virus hepatitis D (HDV).
5. Virus hepatitis E (HEV).
6. Virus hepatitis G (HGV).

C. KLASIFIKASI

1. Hepatitis A (Hepatitis Infeksiosa)
- Penyebab : Virus hepatitis A (HAV).
- Cara penularan : - Jalur fekal-oral.
- Sanitasi yang jelek.
- Kontak antar manusia.
- Dibawa oleh air & makanan.
- Inkubasi (hari) : 15-49 hari, rata-rata 30 hari.
- Imunitas : Homologus.
- Tanda dan gejala : - Dapat terjadi dengan atau tanpa gejala : sakit mirip flu.
- Fase pra-ikterik : sakit kepala, malaise, patique, anoreksia, febris.
- Fase ikterik : Urine yang berwarna gelap, gejala ikterus pada sclera & kulit, nyeri tekan pada hati.
- Hasil akhir : biasanya ringan dengan pemulihan. Tidak terdapat status karier atau meningkatnya resiko hepatitis kronis, sirosis, atau kanker hati.

2. Hepatitis B (Hepatitis Serum)
- Penyebab : Virus Hepatitis B (HBV).
- Cara penularan : - Parenteral atau lewat koncak dengan karier atau penderita infeksi akut, koncak seksual, & oral-oral.
- Penularan perinatal dari ibu kepada bayinya.
- Inkubasi : 28-160 hari. Rata-rata 70-80 hari.
- Imunitas : Homologus.
- Tanda & gejala : Dapat terjadi tanpa gejala, dapat timbul antralgia ruam.
- Hasil akhir : Dapat berat. Status karier mungkin terjadi. Meningkatnya resiko hepatitis kronis, sirosis, & kanker hati.


3. Hepatitis C (Hepatitis non- A, non-Ba)
- Penyebab : Virus hepatitis C (HCV).
- Cara penularan : Transfusi darah & produk darah, terkena darah yang terkontaminasi lewat peralatan atau parafenalia obat.
- Inkubasi : 15-160 hari (rata-rata 50 hari).
- Imunitas : Serangan kedua dapat homologus menunjukkan imunitas yang rendah atau infeksi oleh agens lain.
- Tanda & gejala : Serupa dengan HBV : tidak begitu berat & anikterik.
- Hasil akhir : Sering terjadi status karier yang kronis & penyakit hati yang kronis. Meningkatnya risiko kanker hati.

4. Hepatitis D
- Penyebab : Virus hepatitis D.
- Cara penularan : Sama seperti HBV, antigen permulaan HBV diperlukan untuk replikasi ; pola penularan serupa dengan pola penularan HBV.
- Inkubasi : 21-140 hari. Rata-rata 35 hari.
- Imunitas : Homologus.
- Tanda & gejala : Serupa dengan HBV.
- Hasil akhir : Serupa dengan HBV, tetapi kemungkinan status karier, hepatitis aktif yang kronis & sirosis lebih besar.

5. Hepatitis E
- Penyebab : virus hepatitis E (HEV).
- Cara penularan : Jalur fekal-oral : kontak antar manusia dimungkinkan meskipun risikonya rendah.
- Inkubasi : 15-65 hari. Rata-rata 42 hari.
- Imunitas : Tidak diketahui.
- Tanda & gejala : Serupa dengan HAV, kecuali sangat berat pada wanita hamil.
- Hasil akhir : Serupa dengan HAV, kecuali sangat berat pada wanita hamil.

D. PATOFISIOLOGI

Skemanya :
Infeksi virus & reaksi toksik

Inflamasi pada hepar (Lobule)

Pola hepar terganggu

Nekrosis & kerusakan sel hepar

Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus & oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan & bahan-bahan kimia. Unit fungsional dasar dari hepar disebut lobule & unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri. Seiring dengan berkembangnya inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu. Gangguan terhadap suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan nekrosis & kerusakan sel-sel hepar. Setelah lewat masanya, sel-sel hepar yang menjadi rusak dibuang dari tubuh oleh respon system imun dan digantikan oleh sel-sel hepar baru yang sehat. Oleh karenanya, sebagian besar pasien yang mengalami hepatitis sembuh dengan fungsi hepar normal.

E. MANIFESTASI KLINIS

Terjadi gejala prodromal infeksi viral sistemik seperti anoreksia, nausea, vomiting, fatigue, malaise, artralgia, mialgia, nyeri kepala, fotopobia, faringitis, batuk dan koriza dapat mendahului timbulnya ikterus selama 1-2 minggu. Apabila hepar sudah membesar pasien dapat mengeluh nyeri perut kanan atas.

Demam, dengan suhu sekitar 38-39 °C lebih sering ditemukan pada hepatitis A. Urine berwarna gelap (seperti air teh) dan feses berwarna tanah (clay-colored). Dengan timbulnya gejala kuning/ikterus maka biasanya gejala prodromal menghilang. Hepatomegali dapat disertai nyeri tekan. Splenomegali dapat ditemukan pada 10-20% pasien.
F. KOMPLIKASI

Dapat terjadi komplikasi ringan, misalnya kolestasis berkepanjangan, relapsing hepatitis, atau hepatitis kronis persisten dengan gejala asimtomatik dan AST fluktuatif.
Komplikasi berat dapat terjadi adalah hepatitis kronis aktif, sirosis hati, hepatitis fulminan, atau karsinoma hepatoseluler. Selain itu, dapat pula terjadi anemia aplastik, glomerulonefritis.

G. PROGNOSIS

Hepatitis A biasanya mempunyai prognosis baik kecuali yang fulminan, sedangkan hepatitis B prognosisnya semakin buruk bila infeksi terjadi semakin dini.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Terdapat 2 pemeriksaan penting untuk mendiagnosis hepatitis, yaitu tes awal untuk mengkonfirmasi adanya peradangan akut pada hati dan tes yang bertujuan untuk mengetahui etiologi dari peradangan akut tersebut.
Pemeriksaan tes fungsi hati, khususnya Alanin Amino Transferase (ALT = SGPT), Aspartat Amino Transferase (AST = SGOT). Bila perlu ditambah dengan pemeriksaan billirubin.
Kadar transaminase (SGOT/SGPT) mencapai puncak pada saat timbulnya ikterus. Peningkatan kadar SGOT & SGPT yang menunjukkan adanya kerusakan sel-sel hati adalah 50-2.000 IU/mL. Terjadi peningkatan billirubin total serum (berkisar antara 5-20 mg/dL).

I. PENGOBATAN

Tidak terdapat terapi spesifik untuk hepatitis virus akut. Tirah baring selama fase akut penting dilakukan, dan diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat umumnya merupakan makanan yang dapat dimakan oleh penderita. Pemberian makanan secara intravena mungkin perlu diberikan selama fase akut bila pasien terus-menerus muntah. Aktivitas fisik biasanya perlu dibatasi hingga gejala mereda dan tes fungsi hati kembali normal.
Pengobatan terpilih untuk hepatitis B atau C kronis simtomatik adalah terapi antivirus dengan interferon - α. Terapi antivirus untuk hepatitis D kronis membutuhkan pasien uji eksperimental.

J. PENCEGAHAN

Pengobatan lebih ditekankan pada pencegahan melalui imunisasi karena keterbatasan pengobatan hepatitis virus. Vaksin diberikan dengan rekomendasi untuk jadwal pemberian 2 dosis bagi orang dewasa berumur 18 tahun & yang lebih tua. Dan dosis ke-2 diberikan 6 hingga 12 bulan setelah dosis pertama. Cara pemberian adalah suntikan intramuskular dalam otot deltoideus.

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan, malaise umum.

2. Sirkulasi
Tanda : Bradikardia (hiperbillirubinemia berat), ikterik pada sklera, kulit & membran mukosa.

3. Eliminasi
Gejala : Urine gelap, diare/konstipasi, feses warna tanah liat, adanya/berulangnya hemodialisa.

4. Makanan/Cairan
Gejala : Hilang nafsu makan (anoreksia), penurunan berat badan atau meningkat (edema), mual/muntah.
Tanda : Asites.

5. Neurosensori
Tanda : Peka rangsang, cenderung tidur, letargi, asteriksis.

6. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Kram abdomen, nyeri tekan pada kuadran kanan atas, mialgia, artralgia, sakit kepala, gatal (pruitus).
Tanda : Otot tegang, gelisah.

7. Pernafasan
Gejala : Tidak minat/enggan merokok (perokok).

8. Keamanan
Gejala : Adanya transfusi darah/produk darah.
Tanda : Demam, urtikaria, lesi makulopapular, eritema tak beraturan, eksaserbasi jerawat, angioma jaring-jaring, eritema palmar, ginekomastia (kadang-kadang ada pada hepatitis alkoholik), splenomegali, pembesaran nodus servikal posterior.

9. Seksualitas
Gejala : Pola hidup/perilaku meningkatkan risiko terpajan.

10. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Terpajan virus, bakteri atau toksin, pembawa (simtomatik atau asimtomatik), adanya prosedur bedah dengan anestesia haloten, terpajan pada kimia toksik, perjalanan/imigran, obat jalanan atau penggunaan alkohol, diabetes, penyakit ginjal, adanya infeksi seperti flu pada pernafasan atas.
B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Tes fungsi hati.
2. AST (SGOT)/ALT (SGPT).
3. Darah lengkap.
4. Leukopenia.
5. Diferensial darah lengkap.
6. Alkali fosfatase.
7. Feses.
8. Albumin serum.
9. Gula darah.
10. Anti – HAV IgM.
11. Hbs Ag.
12. Billirubin serum.
13. Tes ekskresi BSP.
14. Biopsi hati.
15. Scan hati.
16. Urinalisa.

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum; penurunan kekuatan/ketahanan; nyeri.
Tujuan : Pasien mampu beraktivitas kembali.
Kriteria Hasil :- Menyatakan pemahaman situasi/faktor risiko & program pengobatan individu.
- Menunjukkan tehnik/perilaku yang memampukan kembali melakukan aktivitas.
- Melaporkan kemampuan melakukan peningkatan toleransi aktivitas.

Intervensi:
- Tingkatkan tirah baring/duduk, berikan lingkungan tenang.
Rasional : Meningkatkan istirahat & ketenangan menyediakan energi yang digunakan untuk penyembuhan. Aktivitas dan posisi duduk tegak diyakini menurunkan aliran darah ke kaki, yang mencegah sirkulasi optimal ke sel hati.
- Ubah posisi dengan sering. Berikan perawatan kulit yang baik.
Rasional : Meningkatkan fungsi pernapasan & meminimalkan tekanan pada area tertentu untuk menurunkan risiko kerusakan jaringan.
- Lakukan tugas dengan cepat & sesuai toleransi.
Rasional : Memungkinkan periode tambahan istirahat tanpa gangguan.
- Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi. Bantu melakukan latihan rentang gerak sendi pasif/aktif.
Rasional : Tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan. Ini dapat terjadi karena keterbatasan aktivitas yang mengganggu periode istirahat.
- Awasi terulangnya anoreksia dan nyeri tekan pembesaran hati.
Rasional : Menunjukkan kurangnya resolusi/eksaserbasi penyakit, memerlukan istirahat lanjut, mengganti program terapi.

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan absorpsi & metabolisme pencernaan makanan ; penurunan peristaltik (refleks viseral), empedu tahanan.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil : - Menunjukkan perilaku perubahan pola hidup untuk meningkatkan/mempertahankan berat badan yang sesuai.
- Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai Lab. normal & bebas tanda malnutrisi.
Intervensi:
- Awasi pemasukan diet. Berikan makanan sedikit dalam frekuensi sering dan tawarkan makanan pagi.
Rasional : Makan banyak sulit untuk mengatur bila pasien anoreksia. Anoreksia juga paling buruk selama siang hari, membuat masukan makanan yang sulit pada sore hari.
- Berikan perawatan mulut sebelum makan.
Rasional : Menghilangkan rasa tak enak dapat meningkatkan nafsu makan.
- Anjurkan makan pada posisi duduk tegak.
Rasional : Menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan pemasukan.
- Konsul pada ahli diet, dukungan tim nutrisi untuk memberikan diet sesuai kebutuhan pasien dengan masukan lemak & protein sesuai toleransi.
Rasional : Untuk memenuhi kebutuhan individu. Metabolisme lemak bervariasi tergantung pada produksi & pengeluaran empedu & perlunya pembatasan lemak bila terjadi diare.
- Awasi glukosa darah.
Rasional : Hiperglikemia/hipoglikemia dapat terjadi, memerlukan perubahan diet/pemberian insulin.
- Berikan tambahan makanan/nutrisi dukungan total bila dibutuhkan.
Rasional : Untuk memenuhi kebutuhan kalori bila tanda kekurangan terjadi/gejala memanjang.


DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. EGC. Jakarta.
Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan; Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. EGC. Jakarta.
Mansjoer, Arif, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Jakarta.
Noer, Sjaifoellah, dkk. (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta

=========================================================================

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS TETANUS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot proksimal diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka (Arjatmo, 1996).
Manifestasi sistemik tetanus disebabkan oleh absorsi eksotoksin sangat kuat yang dilepaskan oleh clostridium tetani pada masa pertumbuhan aktif dalam tubuh manusia (Hasan, Rusepno, 1989).
Hippocrates sudah menggambarkan gejala penyakit tetanus pada manusia. Tahun 1882 Nicolailer dan Rosenbach menemukan bahwa penyakit ini ditemukan oleh bakteri. Kemudian tahun 1889 oleh Kitasono dan Nicolailer, kuman Cl. Tetani dan toksinnya dapat diisolasi. Selanjutnya tahun 1890 Von Behring dan Kitasono melaporkan keberhasilan imunisasi dan netralisasi toksin dengan anti serum spesifik yang merupakan dasar metoda imunologi sebagai tindakan pencegahan dan pengobatan tetanus. Akhirnya pada tahun 1925 Ramon memperkenalkan tetanus toksoid untuk imunisasi aktif (R. Sjamsuhidayat, 1997).
Berdasarkan insiden yang terjadi di atas, kami tertarik untuk mengangkat kasus tetanus sehingga akan meningkatkan pemahaman kita semua, khususnya kelompok mengenai tetanus.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Agar mampu memahami dan menjelaskan konsep teori dan melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien tetanus.

2. Tujuan Khusus
a. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang definisi tetanus.
b. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang etiologi tetanus.
c. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang patofisiologi tetanus.
d. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang gejala klinis tetanus.
e. Agar mampu melakukan pengkajian pada pasien tetanus.
f. Agar mampu menegakkan diagnosis pada pasien tetanus.
g. Agar mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien tetanus.
h. Agar mampu melakukan implementasi pada pasien tetanus.
i. Agar mampu melakukan evaluasi pada pasien tetanus.

BAB II
PEMBAHASAN

I. KONSEP DASAR PENYAKIT

A. DEFINISI

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan neuromuscular akut berupa trismus, kekakuan dan kejng otot disebabkan oleh eksotoksin spesifik dari kuman anaerob clostridium tetani (R. Sjamsuhidayat, 1997).
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot proksimal diikuti kekakuan otot seluruh badan (Arjatmo, 1996).
Tetanus adalah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh Cl. Tetani (Mansjoer, 2000).

B. ETIOLOGI

Infeksi tetanus disebabkan oleh clostridium tetani yang bersifat murni. Kuman ini mudah dikenal karena berbentuk spora dan karena bentuk yang khas. Ujung sel menyerupai tongkat pemukul genderang atau rekek squash.
Spora Cl. Tetani dapat bertahan bertahun-tahun bila tidak kena sinar matahari. Spora ini terdapat di tanah atau di debu. Tahan terhadap antiseptic, pemanasan 100 °C, dan bahkan pada otoklaf 120 °C selama 15-20 menit. Dari berbagai study yang berbeda spora ini tidak jarang ditemukan pada feses manusia, juga pada feses kuda, anjing dan kucing. Toksin diproduksi oleh bentuk vegetatifnya.

C. PATOFISIOLOGI

Tetanus

Clostridium

Luka tusuk Luka tabrakan Luka goresan

Perawatan luka yang kurang baik

Toksin diabsorbsi di ujung saraf motorik Toksin bersifat
dan susunan limfatik antigen

Masuk ke dalam sirkulasi darah Arteri
Kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat

Perubahan marfologi

Pembengkakan sel-sel ganglion motorik yang
berhubungan dengan pembengkakan dengan
liris inti sel

(Arjatmo, 1996).

D. GEJALA KLINIS

Masa tunas biasanya 5-14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh anti serum.
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan:
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2. Kuduk kaku sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki).
3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dari abdomen akut).
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin yang terdapat di kornus anterior.
5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alias tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi).
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan sering merupakan gejala dini.
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku, dan tangan menggepal kuat. Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramuscular karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernafasan dan laring. Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot uretral.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak.

Menurut beratnya gejala dapat dibedakan 3 stadium:
1. Trismus (3cm) tanpa kejang tonik umum meskipun dirangsang.
2. Trismus (3cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang.
3. Trismus (1cm) dengan kejang tonik umum spontan.

E. KOMPLIKASI

1. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) di dalam rongga mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.
2. Asfiksia.
3. Ateleksasi karena obstruksi oleh secret.
4. Fractural kompresi.



F. PENATALAKSANAAN

1. Umum
- Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya.
- Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde parenteral.
- Isolasi untuk menghindari rangsangan luar seperti suara dan tindakan terhadap pasien.
- Oksigen, pernafasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
- Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

2. Obat-obatan
- Antitoksin
Tetanus immunoglobulin (TIG) lebih dianjurkan pemakaiannya dibandingkan dengan anti tetanus serum (ATS) dari hewan. Dosis inisial TIG yang dianjurkan adalah 5000 U intramuscular yang dianjurkan dengan dosis harian 500-6000 U. bila pemberian TIG tidak memungkinkan ATS dapat diberikan dengan dosis 5000 U intramuscular dan 5000 U intravena. Pemberian baru dilaksanakan setelah dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas.
- Anti Kejang
Obat Efek Samping
Diazepam Stupor, koma
Meprobomat Tidak ada
Klorpromazine Hipertensi
Fenobarbital Depresi
Intramuscular Pernafasan

G. PENCEGAHAN

Pencegahan penyakit tetanus meliputi :
1. Mencegah terjadinya luka.
2. Merawat luka secara adekuat.
3. Pemberian anti tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka, akan memberikan kekebalan pasif, sehingga mencegah terjadinya tetanus akan memperpanjang masa inkubasi. Umumnya diberikan dalam dosis 1500 U intramuscular setelah dilakukan tes kulit.
4. Di Negara barat, pencegahan tetanus dilakukan dengan pemberian tolsoid dan TIG.

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Identitas pasien : nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medis, rencana terapi.
2. Keluhan utama/alasan masuk RS.
3. Riwayat kesehatan.
- Riwayat kesehatan sekarang.
- Riwayat kesehatan masa lalu.
- Riwayat kesehatan keluarga.
4. Riwayat imunisasi.
5. Riwayat tumbuh kembang.
6. Riwayat nutrisi.
7. Riwayat psikososial.
8. Riwayat spiritual.
9. Riwayat hospitalisasi.
10. Riwayat aktivitas sehari-hari.
11. Pemeriksaan fisik.
- Keadaan umum klien.
- Tanda-tanda vital.
- Atropometri.
- Sistem pernafasan.
- Sistem cardiovascular.
- System integument.
- Sistem pencernaan.
- Sistem indra.
- Sistem perkemihan.
- Sistem endokrin.
- Sistem reproduksi.
- Sistem imun.
- Sistem musculoskeletal.
- Sistem saraf : fungsi serebral, fungsi cranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, fungsi serebelum, fungsi reflex, fungsi iritasi meningen.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan ditandai dengan susah bernafas, sesak, apnea.
Tujuan : Pola nafas pasien kembali normal atau pasien dapat
mempertahankan pola nafas efektif.
Kriteria Hasil : semua hal yang terkait dengan gejala kembali baik.

Intervensi:
- Pantau frekuensi dan irama serta kedalaman pernafasan, catat ketidakteraturan pernafasan.
Rasional : Perubahan dapat menandakan adanya komplikasi, pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi/luar keterlibatan otot pernafasan lambat periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi.
- Catat kompetensi reflex gangguan menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan nafas sendiri, pasang alat bantu pernafasan sesuai indikasi.
Rasional : Kemampuan mobilisasi atau memberikan sekresi penting untuk memelihara jalan nafas, kehilangan reflex menelan, atau batuk menandakan perlunya jalan nafas buatan/intubasisal.
- Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring, sesuai indikasi.
Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan penurunan kemungkinan lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas.
- Anjurkan pasien untuk bernafas dalam yang efektif jika pasien sadar serta berikan oksigen.
Rasional : Pencegahan atau penurunan atelektasis serta memaksimalkan O2 pada darah arteri dan membantu mencegah hipoksia.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan dan membuka mulut ditandai dengan BB menurun, sukar menelan, kaku otot wajah.
Tujuan : Pasien mendapatkan nutrisi dan adekuat.
Kriteria Hasil : Pasien mendapatkan nutrisi yang cukup dan menunjukkan peningkatan BB yang memuaskan.

Intervensi:
- Beri makan melalui NGT sesuai dengan ketentuan.
Rasional : Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian oral memungkinkan.
- Pantau pemasukan dan BB.
Rasional : Untuk mengkaji keadekuatan masukan nutrisi.
- Beri cairan/nutrisi parenteral, sesuai indikasi.
Rasional : Mungkin perlu untuk mengatasi dehidrasi, menggantikan kehilangan cairan dan memberikan nutrisi yang perlu bila masukan oral dibatasi.
- Konsul dengan ahli diet.
Rasional : Bermanfaaat dalam menyusun rencana/kebutuhan diet individu.

3. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan proses inflamasi ditandai dengan pusing, sakit kepala, sesak, TD: 90/70 mmHg, Temp: 35 ºC.
Tujuan : : Perfusi jaringan kembali normal.
Kriteria hasil : Semua hal yang berkaitan dengan gejala kembali baik.

Intervensi:
- Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan perubahan perfusi jaringan otak dan potensial potetik.
Rasional : Menentukan pilihan intervensi.
- Pantau dan catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (misalnya dengan koma glasgow).
Rasional : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP, serta menentukan tingkat kesadaran.
- Berikan oksigen sesuai indikasi.
Rasional : Menentukan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral tekanan peningkatan dan terbentuknya edema.
- Pantau suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi.
Rasional : Dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.
- Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti masasse punggung dan sebagainya.
Rasional : Meningkatkan efek ketegangan, menurunkan reaksi tubuh, meningkatkan istirahat untuk memelihara atau menurunkan TIK.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Media Aesculapius. Jakarta.
Hasan, Rusepno, 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta.
Sjamsuhidayat, dkk. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.
Tjokronegoro, Arjotmo, dkk. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta

------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Sinusistis Maksilaris dan Perawatannya
Written by Ns. Erwin, S.Kep   
SinusitisSinusitis Maksilaris Akut adlah infeksi akut pada mukosa sinus maksilaris.
Penyebab :
S.Pneumonia, H. Influenza, S. Aureus atau virus, Insiden paling banyak dibanding Sinus yang lain, hal ini karena:
a. Modus infeksi
Rinogen : merupakan ekstensi dari rinitis aku, yaitu waktu buang ingus sekret masuk kedalam sinus.
Dentogen; karies pada gigi premolar 2 sampai dengan molar 3 rahang atas
Pasca ekstraksi gigi rahang atas
b. Posisi ostium sinus maksilaris paling rendah
c.Drainase sinus maksilaris paluing sulit karena letak ostium yang tinggi, diatap sinus ditutupi konka media/polip/deviasi septi, 16 jam penderita dalam posisi berdiri atau duduk.

Diagnosis

a. Gejala:
- Rinore dengan sekret yang kental dan berbau, obstruksi nasi, panas badan.
- Kadang-kadang pilek disertai darah
- Obstruksi nasi
- Panas badan
- Nyeri pada pipi daerah sinus sakit
- Nyeri meningkat pada waktu sore hari minimal pada waktu pagi hari. Hal ini disebabkan karena ostium sinus berada pada atap sinus, sehingga pada malam hari dimana penderita kebanyakan dalam posisi berbaring, isi sinus dapat keluar tetapi pada siang hari dimana penderita kebanyakan pada posisi berdiri akan menyebabkan sekret sulit keluar, sehingga menumpuk dalam sinus

b. Pemeriksaan :
Penderita tampak sakit
Febris
Pada palpasi, ada perbedaan rasa nyeri pada penekanan pipi
Rinoskopia anterior ;
(konka inferior udem dan hiperemis, kavum nasi menyempit serta akan tampak sekret mukopurulent pada meatus medius )

c. Transiluminasi ada perbedaan sisi kanan dan kiri. Biasanya sisi yang sakit akan tampak lebih gelap

d. Foto Waters tampak adanya udema mukosa ataua cairan dalam sinus. Bila cairan tidak penuh, akan tampak gambaran air fluid level.

e. Terapi:
a. makan minum hangat
b. Antibiotika, dekongestan.
c. Bila ada cairan, dilakukan irigasi sinus
d. Untuk mengurangi udema diberikan diatermi 10 kali
e. Tidur kesisi heterolateral.

Sinusitis maksilaris Kronis
Insiden banyak, karena :
a. Drainase kurang baik.
b. Sinusitismaksilaris akut yang tidak diobati
c. Ada faktor gigi
d. Ada faktor posisi ostium.

2. Patologi
Terjadi perubahan pada mukosa sinus yang berupa degenerasi kisteus, polip.fibrosis, dan metaplasia epitel. Tidaka ada perubahan pada tulang.

3. Diagnosis
Gejala tak jelas dan tak banyak, tetapi keluhan telah terjadi lama, yaitu adanya sekret mukopurulent, foetor nasi dan obstruksio nasi yang sangat bervariasi

Terapi
a. Bila ada foetor dentogen berobat ke dokter gigi.
b. Irigasi dan beri obat tetes hidung
c. Bila irigasi lebih dari 4-5 kali belum sembuh, operasi Caldwell Luc.

Pengkajian Data Fokus :

1. Data Subyektif
a. Obsruksi Nares
- Riwayat bernafas melalui mulut pada siang atau malam hari, kapan terjadi, lamanya dan frekuensinya.
- Riwayat pembedahan hidung atau trauma pada hidung
- Penggunaan obat tetes atau semprot hidung jenis, jumlah, frekuensi dan lamanya penggunaan.
b. Sekresi Hidung :
- warna, jumlah dan konsistensi sekret
- Perdarahan hidung dari satu atau kedua nares.
- Adanya krusta atau nyeri pada hidung
c. Riwayat Sinusitis
- Nyeri kepala, lokasi dan beratnya nyeri
- Hubungan sinusitis dengan musim tertentu atau cuaca tertentu
d. Gejala – gejala umum lainya seperti kelemahan.

2. Data Objektif ;
a. Demam dan drainase ( serous, mukopurulent, porulent )
b. Polip ( pucat, lunak, edematous keluar dari nasal atau mukosa sinus) mungkin timbul dan biasanya terjadi bilateral pada hidung dan sinus yang mengalami peradangan.
c. Kemerahan dan edema pada membran mukosa.

3. Tes Diagnostik :
a. Kultur organisme penyebab dari hidung atau tenggorokan
b. Pemeriksaan rontgen sinus biasa , dilakukan untuk menentukan ada dan luasnya penyakit dan terkena tidaknya tulang-tulang, jika terjadi infeksi, foto me unjukan gambaran; penebalan membran mukosa sinus dan gambaran difus pada sinusitis kronis
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Asuhan Keperawatan Anak dengan Asma Bronchial

A. Pengertian
Asma bronchial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversibel dimana trakheobronkhial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trachea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangandengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan.

B. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial.
1. Faktor Predisposisi
- Genetik
Yang diturunkan adalah bakat alergi meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus.
2. Faktor Presipitasi
- Alergen
Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. Contoh: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri, dan polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut. Contoh: makanan dan obat-obatan
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh: perhiasan, logam, dan jam tangan.
- Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin, serbuk bunga, dan debu.
- Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus asma dan memperberat serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan motivasi untuk menyelesaikan masalah pribadinya karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
- Olah raga/aktivitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita akan mendapat serangan juka melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat.lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.

C. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergi yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin), dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap penctus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronis dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.

D. Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara: seseorang alergi membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal  reaksi alergi. Pada asma, antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibodi IgE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrien), faktor kemotaktik eosinofilik, dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkhiolus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkhiolus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asma, diameter bronkhiolus berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar bronkhiolus. Bronkhiolus sudah tersumbat sebagian maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi.pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat tetapi hanya sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesulitan mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal in dapat menyebabkan barrel chest.

E. Manifestasi Klinis
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala klasik: sesak nafas, mengi (wheezing), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Pada serangan asma yang lebih berat, gejala yang timbul makin banyak, antara lain: silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hiperinflasi dada, takikardi, dan pernafasan cepat-dangkal. Serangan asma sering terjadi pada malam hari.

F. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah:
1. Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi berat dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin suntikan dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif.
2. Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
3. Hipoksemia adalah tubuh kekurangan oksigen
4. Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan kolapsnya paru.
5. Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.

G. Penatalaksanaan
Prinsip umum pengobatan asma bronkhial adalah:
1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segera
2. Mengenal dan menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma
3. Memberikan penerangan kepada penderita atau keluarganya mengenai penyakit asma. Meliputi pengobatan dan perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan pengobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawat.
- Pengobatan
Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu:
1) Pengobatan non farmakologik
a. Memberikan penyuluhan
b. Menghindari faktor pencetus
c. Pemberian cairan
d. Fisioterapi
e. Beri O₂ bila perlu
2) Pengobatan farmakologik
- Bronkodilator: obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan:
a. Simpatomimetik/andrenergik (adrenalin dan efedrin)
Nama obat: Orsiprenalin (Alupent), fenoterol (berotec), terbutalin (bricasma).
b. Santin (teofilin)
Nama obat: Aminofilin (Amicam supp), Aminofilin (Euphilin Retard), Teofilin (Amilex)
Penderita dengan penyakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini.
- Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian 1 bulan.
- Ketolifen
Mempunya efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dosis 2 kali 1 mg/hari. Keuntungan obat ini adalah dapat diberikan secara oral.

H. Pencegahan Serangan Asma pada Anak
1. Menghindari pencetus
Cara menghindari berbagai pencetus serangan pada asma perlu diketahui dan diajarkan pada keluarganya yang sering menjadi faktor pencetus adalah debu rumah. Untuk menghindari pencetus karena debu rumah dianjurkan dengan mengusahakan kamar tidur anak:
- Sprei, tirai, selimut minimal dicuci 2 minggu sekali. Sprei dan sarung bantal lebih sering. Lebih baik tidak menggunakan karpet di kamar tidur atau tempat bermain anak. Jangan memelihara binatang.
- Untuk menghindari penyebab dari makanan bila belum tau pasti, lebih baik jangan makan coklat, kacang tanah atau makanan yang mengandung es, dan makanan yang mengandung zat pewarna.
- Hindarkan kontak dengan penderita influenza, hindarkan anak berada di tempat yang sedang terjadi perubahan cuaca, misalnya sedang mendung.
2. Kegiatan fisik
Anak yang menderita asma jangan dilarang bermain atau berolah raga. namun olahraga perlu diatur karena merupakan kebutuhan untuk tumbuh kembang anak. Pengaturan dilakukan dengan cara:
- Menambahkan toleransi secara bertahap, menghindarkan percepatan gerak yang mendadak
- Bila mulai batuk-batuk, istirahatlah sebentar, minum air dan setelah tidak batuk-batuk, kegiatan diteruskan.
- Adakalanya beberapa anak sebelum melakukan kegiatan perlu minum obat atau menghirup aerosol terlebih dahulu.

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan masa lalu
- Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya
- Kaji riwayat reksi alergi atau sensitivitas terhadap zat/faktor lingkungan
b. Aktivitas
- Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernafas
- Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bentuan melakukan aktivitas sehari-hari
- Tidur dalam posisi duduk tinggi
c. Pernapasan
- Dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan
- Napas memburuk ketika klien berbaring telentang di tempat tidur
- Menggunakan alat bantu pernapasan, misal meninggikan bahu, melebarkan hidung.
- Adanya bunyi napas mengi
- Adanya batuk berulang
d. Sirkulasi
- Adanya peningkatan tekanan darah
- Adanya peningkatan frekuensi jantung
- Warna kulit atau membran mukosa normal/abu-abu/sianosis
e. Integritas ego
- Ansietas
- Ketakutan
- Peka rangsangan
- Gelisah
f. Asupan nutrisi
- Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan
- Penurunan berat badan karena anoreksia
g. Hubungan sosial
- Keterbatasan mobilitas fisik
- Susah bicara atau bicara terbata-bata
- Adanya ketergantungan pada orang lain
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
- Bila disertai dengan bronkhitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah
- Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
- Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru
- Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal
- Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneutoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
b. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
c. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru, yaitu:
- Perubahan aksis jantung, pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation
- Terdapat tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right Bundle branch Block)
- Tanda-tanda hipoksemia, yaitu terdapatnya sinus takikardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negatif.
d. Scanning Paru
Dapat diketahui bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
e. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversibel. Pemeriksaan spirometri tdak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif b.d bronkospasme
Tujuan: mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi bersih dan jelas
Intervensi:
- Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi
- Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi
- Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat
- Tempatkan klie pada posisi yang nyaman. Contoh: meninggikan kepala TT, duduk pada sandaran TT
- Pertahankan polusi lingkungan minimum. Contoh: debu, asap,dll
- Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung, memberikan air hangat.
- Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat sesuai indikasi.
2) Gangguan pertukaran gas b.d gangguan suplai oksigen
Tujuan: perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat
Intervensi:
- Kaji/awasi secara rutin keadaan kulit klien dan membran mukosa
- Awasi tanda vital dan irama jantung
- Kolaborasi: .berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil AGDA dan toleransi klien
- Sianosis mungkin perifer atau sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia
- Penurunan getaran vibrasi diduga adanya penggumpalan cairan/udara
- Takikardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik.
3) Cemas pada orang tua dan anak b.d penyakit yang dialami anak
Tujuan: menurunkan kecemasan pada orang tua dan anak
Intervensi untuk orang tua:
- Berikan ketanangan pada orang tua
- Memberikan rasa nyaman
- Mendorong keluarga dengan memberikan pengertian dan informasi (Waley & Wong, 1989)
- Mendorong keluarga untuk terlibat dalam perawatan anaknya
- Konsultasi dengan tim medis untuk mengetahui kondisi anaknya.
Intervensi untuk anak:
- Bina hubungan saling percaya
- Mengurangi perpisahan dengan orang tuanya
- Mendorong untuk mengekspresikan perasaannya
- Melibatkan anak dalam bermain
- Siapkan anak untuk menghadapi pengalaman baru, misal: pprosedur tindakan
- Memberikan rasa nyaman
- Mendorong keluarga dengan memberikan pengertian informasi (Waley & Wong, 1989).
4) Risiko tinggi kopong keluarga tidak efektif b.d tidak terpenuhinya kebutuhan psikososial orang tua
Tujuan: koping keluarga kembali efektif
Intervensi:
- Buat hubungan dengan orang tua yang mendorong mereka mengungkapkan kesulitan
- Berikan informasi pada orang tua tentang perkembangan anak
- Berikan bimbingan antisipasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan
- Tekankan pentingnya sistem pendukung
- Anjurkan orang tua untuk menyediakan waktu sesuai kebutuhan
- Bantu orang tua untuk merujuk pada ahli penyakit
- Informasikan kepada orang tua tentang pelayanan yang tersedia di masyarakat.

J. Daftar Pustaka
- Betz Cecily, Linda A Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. EGC: Jakarta.
- Capernito, Lynda J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis. EGC: Jakarta.
- Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC: Jakarta.
- Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29.EGC: Jakarta
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

ASKEP PRE DAN POST OPERASI PADA PASIEN DENGAN GAGAL NAFAS

BAB I
PENDAHULUAN


Keperawatan pre-operatif merupakan tahapan awal dari perioperatif. Kesuksesan tindakan pembedahan secara keseluruhan sangat tergantung pada fase ini. Hal ini disebabkan vase ini merupakan awalan yang menjadi landasan untuk kesuksesan tahapan-tahapan berikutnya. Pengkajian secara integral dari fungsi pasien meliputi fungsi fisik biologis dan psikologis sangat diperlukan untuk keberhasilan dan kesuksesan suatu operasi.
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001)
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997).
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001).

B. PATOFISIOLOGI
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara). Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.

C. ETIOLOGI
1. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangatmempengaruhiventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.
4. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar.
5. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas.

D. TANDA DAN GEJALA
 Tanda:
a). Gagal nafas total
 Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.
 Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi.
 Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi buatan.
b). Gagal nafas parsial
 Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan whizing.
 Ada retraksi dada
 Gejala:
 Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2).
 Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun).

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemerikasan gas-gas darah arteri
Hipoksemia
Ringan : PaO2 < 80 mmHg Sedang : PaO2 < 60 mmHg Berat : PaO2 < 40 mmHg  Pemeriksaan rontgen dada Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui  Hemodinamik Tipe I : peningkatan PCWP  EKG Mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan Disritmia. F. PENGKAJIAN 1) Airway  Peningkatan sekresi pernapasan  Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi 2) Breathing  Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.  Menggunakan otot aksesori pernapasan  Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis. 3). Circulation  Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia  Sakit kepala  Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk • Papiledema • Penurunan haluaran urine. G. PENTALAKSANAAN MEDIS a) Terapi oksigen Pemberian oksigen kecepatan rendah : masker Venturi atau nasal prong b) Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP c) Inhalasi nebuliser d) Fisioterapi dada e) Pemantauan hemodinamik/jantung f) Pengobatan -Brokodilator -Steroid g) Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan. H. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pola pernapasan yang efektif. Kriteria Hasil : • Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal • Adanya penurunan dispneu • Gas-gas darah dalam batas normal Intervensi : • Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan serta pola pernapasan. • Kaji tanda vital dan tingkat kesasdaran setaiap jam dan prn • Monitor pemberian trakeostomi bila PaCo2 50 mmHg atau PaO2< 60 mmHg. • Berikan oksigen dalam bantuan ventilasi dan humidifier sesuai dengan pesanan • Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji kecenderungan kenaikan PaCO2 atau kecendurungan penurunan PaO2 • Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap 1 jam • Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30 sampai 45 derajat untuk mengoptimalkan pernapasan • Berikan dorongan utnuk batuk dan napas dalam, bantu pasien untuk mebebat dada selama batuk • Instruksikan pasien untuk melakukan pernapasan diagpragma atau bibir • Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg. PaO2 dan PCO2 meningkat dengan frekuensi 5 mmHg/jam. PaO2 tidak dapat dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih, atau pasien memperlihatkan keletihan atau depresi mental atau sekresi menjadi sulit untuk diatasi.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder terhadap hipoventilasi.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pertukaran gas yang adekuat.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan :
• Bunyi paru bersih
• Warna kulit normal
• Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan.
Intervensi :
• Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
• Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap jam dan prn, laporkan perubahan tinmgkat kesadaran pada dokter.
• Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam PaCO2 atau penurunan dalam PaO2
• Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau PEEP.
• Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
• Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau penyimpangan
• Pantau irama jantung
• Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
• Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.
• Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.
3. Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi kelebihan volume cairan.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan:
• TTV normal
• Balance cairan dalam batas normal
• Tidak terjadi edema.
Intervensi :
• Timbang BB tiap hari
• Monitor input dan output pasien tiap 1 jam
• Kaji tanda dan gejala penurunan curah jantung
• Kaji tanda-tanda kelebihan volume : edema, BB , CVP
• Monitor parameter hemodinamik
• Kolaburasi untuk pemberian cairandan elektrolit
1. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu mempertahankan perfusi jaringan.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan
• Status hemodinamik dalam bata normal
• TTV normal
Intervensi :
• Kaji tingkat kesadaran
• Kaji penurunan perfusi jaringan
• Kaji status hemodinamik
• Kaji irama EKG
• Kaji sistem gastrointestinal


BAB III
PEMECAHAN MASALAH
ASKEP KLIEN PRE DAN POST OPERASI GANGGUAN
PERNAFASAN

A. Askep Klien Pre Operasi
1. Pengertian
Keperawatan Pre operasi adalah dimulai ketika klien masuk/pindah kebagian bedah dan berakhir saat klien dipindahkan keruang pemulihan. Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini adalah segala macam aktivitas yang dilakukan oleh perawat diruang operasi.

2. Persiapan klien Pre Operasi
a) Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat penyakit keluarga, pemeriksaan fisik lengkap.
b) Status nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan, lingkar lengan atas, kadar protein, darah dan keseimbangan nitrogen.
c) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan output.
d) Kebersihan lambung dan Kolon
Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu. Intervensi keperawatan yang bisa diberikan diantaranya adalah pasien dipuasakan.
e) Personal Hygine
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi.

3. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
 Pengontrolan TTV
 Melakukan auskultasi dada
 Pola pernafasan
2. Diagnosa
 Resiko infeksi
 Resiko cedera
3. Implementasi
 Memberikan dukungan emosional
 Mengukur posisi yang sesuai
 Mempertahankan keadaan aseptis
 Menjaga kestabilan temperature pasien
 Memonitor hiperglikemi
 Membantu penutupan luka operasi
 Membantu penutupan luka operasi
 Memindahkan pasien keruang pemulihan
4. Intervensi
 Memperbaiki jalan nafas
 Pendidikan pasien
 Menghilangkan ansietas

B. Askep Klien Post-Operasi
2. Pengertian
Keperawatan Post-Operasi adalah dimulai dengan masuknya klien keruang pemulihan (Recovery Room) dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau dirumah.
3. Yang harus diperhatikan pada Post-operasi
a. Pernafasan
b. Sirkulasi
c. Pengontrolan suhu
d. Fungsi Nurologis
e. Fungsi Genitrourinaria
f. Fungsi Gastroinfestinal
g. Keseimbangan cairan dan elektrolit
h. Kenyamanan

4. Proses keperawatan
a) Pengkajian
 Pemeriksaan TTV
 Tingkat kesadaran
 Kondisi bautan dan drainase
 Asupan cairan
b) Diagnosa keperawatan
 Ketidakefektifan jalan nafas
 Ketidakefektifan pola pernafasan
 Nyeri
 Resiko kekurangan volume cairan
 Resiko kerusakan integritas kulit
c) Perencanaan
 Menunjukkan fungsi fisiologis normal
 Tidak memperlihatkan adanya infeksi bekas luka
 Dapat beristirahat dan memperoleh rasa nyaman
 Kembali pada status kesehatan fungsional
d) Implementasi / Penatalaksanaan
 Mempertahankan fungsi pernafasan
 Mencegah statis sirkulasi
 Meningkatkan fungsi eleminasi
 Mempercepat penyembuhan luka
 Memperoleh kenyamanan dan istirahat
 Mempercepat kembalinya status kesehatan fungsional

e) Evaluasi
 Ukur penyimpangan dada saat bernafas dalam
 Inspeksi kondisi tepi luka
 Kaji suhu tubuh
 Evaluasi perilaku verbal dan nonverbal
 Observasi tingkat ambulasi klien

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Keperawatan pre-operatif merupakan tahapan awal dari perioperatif. Kesuksesan tindakan pembedahan secara keseluruhan sangat tergantung pada fase ini. Hal ini disebabkan vase ini merupakan awalan yang menjadi landasan untuk kesuksesan tahapan-tahapan berikutnya.
Keperawatan Pre operasi adalah dimulai ketika klien masuk/pindah kebagian bedah dan berakhir saat klien dipindahkan keruang pemulihan.
Keperawatan Post-Operasi adalah dimulai dengan masuknya klien keruang pemulihan (Recovery Room) dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau dirumah.

B. Saran
1. Pemeriksaan status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat penyakit keluarga, pemeriksaan fisik lengkap.
2. Memperhatikan Kebersihan tubuh si pasien sebelum operasi dengan menyuruh pasien berpuasa.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth, (2000), Buku Ajar Keperawatn Medikal Bedah, Buku Kedokteran, ECG, Jakarta.
www.keperawatanmedikalbedah.com
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB Lippincott Company, Philadelphia
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

ASUHAN KEPERAWATAN SIROSIS HEPATIS

I. KONSEP DASAR PENYAKIT

A. PENGERTIAN

Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).

Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronik yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal (Price & Willson, 2005, hal : 493).

Sirosis hepatis adalah penyakit kronik hati yang dikarakteristikkan oleh gangguan struktur dan perubahan degenerasi, gangguan fungsi seluler, dan selanjutnya aliran darah ke hati (Doenges, dkk, 2000, hal: 544).

B. ETIOLOGI

Ada 3 tipe sirosis hepatis :
a. Sirosis portal Laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
b. Sirosis pasca nekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
c. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi di dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).

1. Etiologi yang diketahui penyebabnya :
- Hepatitis virus B dan C.
- Alcohol.
- Metabolic.
- Kolestasis kronik/sirosis siliar sekunder intra dan ekstra hepatic.
- Obstruksi aliran vena hepatic.
- Gangguan imunologis hepatitis lupoid, hepatitis kronik aktif.
- Toksik dan obat INH, metilpoda.
- Operasi pintas usus halus pada obesitas.
- Malnutrisi, infeksi seperti malaria.

2. Etiologi tanpa diketahui penyebabnya :
- Sirosis yang tidak dikethui penyebabnya dinamakan sirosis kriptogenik/heterogenous.

C. PATOFISIOLOGI

Minuman yang mengandung alkohol, zat kimia
(tetraklorida, naftalon, terklorinasi, arsen atau fosfor)

Adanya kapilerisasi Membentuk ekstraseluler matriks Pembengkakan pada
(ukuran pori seperti yang mengandung kolagen, hati
endotel kapiler) glikoprotein, dan proteglikans
(dibentuk oleh sel stellata)

Terjadinya penekanan pada banyak Mengganggu proses
vena di hati aliran darah ke sel
hati
Hipertensi porta
Sel hati mati
Asites Banyaknya fungsi hati yang
Varises gastrointestinal rusak

Edema gagal hati kronis

D. MANIFESTASI KLINIS

Penyakit sirosis hepatis mempunyai gejala seperti ikterus dan febris yang intermiten. Adanya pembesaran pada hati. Pada awal perjalanan sirosis hepatis ini, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula glisoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler). Obstruksi portal dan asites. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Pasien juga cenderung menderita dyspepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan. Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangi ektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh. Varises gastrointestinal. Edema, gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis.

E. KOMPLIKASI

Bila penyakit sirosis hati berlanjut progresif, maka gambaran klinis, prognosis, dan pengobatan tergantung pada 2 kelompok besar komplikasi :
a. Kegagalan hati (hepatoseluler) : timbul spider nevi, eritema Palmaris, atrofi testis, ginekomastia, ikterus, ensefalopati, dll.
b. Hipertensi portal : dapat menimbulkan splenomegali, pemekaran pembuluh vena esophagus/cardia, caput medusa, hemoroid, vena kolateral dinding perut.

Bila penyakit berlanjut maka dari kedua komplikasi tersebut dapat timbul komplikasi dan berupa :
- Asites.
- Ensefalopati.
- Peritonitis bacterial spontan.
- Sindrom hepatorenal.
- Transformasi kea rah kanker hati primer (hepatoma).


F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pada darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom nomosister, hipokrom mikrosister/hipokrom makrosister.
b. Kenaikan kadar enzim transaminase-SGOT, SGPT bukan merupakan petunjuk berat ringannya kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran dari sel yang rusak, pemeriksaan billirubin, transaminase dan gamma GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.
c. Albumin akan merendah karena kemampuan sel hati yang berkurang, dan juga globulin yang naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress.
d. Pemeriksaan CHE (kolinesterasi). Ini penting karena bila kadar CHE turun, kemampuan sel hati turun, tapi bila CHE normal/tambah turun akan menunjukkan prognosis jelek.
e. Kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretic dan pembatasan garam dalam diet, bila ensefalopati, kadar Na turun dari 4 meg/L menunjukkan kemungkinan telah terjadi sindrom hepatorenal.
f. Pemeriksaan marker serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg, HcvRNA, untuk menentukan etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP (Alfa Feto Protein) penting dalam menentukan apakah telah terjadi transformasi ke arah keganasan.

2. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
a. Radiologi : dengan barium swallow dapat dilihat adanya varises esophagus untuk konfirmasi hipertensi portal.
b. Esofagoskopi : dapat dilihat varises esophagus sebagai komplikasi sirosis hati/hipertensi portal.
c. Ultrasonografi : pada saat pemeriksaan USG sudah mulai dilakukan sebagai alat pemeriksaan rutin pada penyakit hati.


G. PENATALAKSANAAN

Terapi dan prognosis sirosis hati tergantung pada derajat komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal. Dengan kontrol pasien yang teratur pada fase dini akan dapat dipertahankan keadaan kompensasi dalam jangka panjang dan kita dapat memperpanjang timbulnya komplikasi.
1. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan control yang teratur, istirahat yang cukup, susunan TKTP.
2. Pasien sirosis hati dengan sebab yang diketahui, seperti : alcohol, dan obat-obatan lain dianjurkan menghentikan penggunaannya. Alcohol akan mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh. Hemokromatosis, dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi atau terapi kelasi (desperioxamine). Dilakukan vanaseksi 2x seminggu sebanyak 500cc selama setahun. Pada penyakit willson (penyakit metabolic yang diturunkan) diberikan D-penicilamine 20 mg/kg BB/hari yang akan mengikat kelebihan cuprum, dan menambah ekskresi melalui urine. Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid, pada keadaan lain dilakukan terapi terhadap komplikasi yang timbul.
a. Untuk asites, diberikan diet rendah garam 0,5 g/hari dan total cairan 1,5 L/hari. Spirolakton dimulai dengan dosis awal 4 x 25 mg/hari dinaikkan sampai total dosis 800 mg sehari, bila perlu dikombinasi dengan furosemid.
b. Perdarahan varises esophagus. Pasien dirawat di RS sebagai kasus perdarahan saluran cerna. Pertama melakukan pemangan NGT, disamping melakukan aspirasi cairan lambung. Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik 100 x/menit atau Hb 9 g% dilakukan pemberian dekstrosa/salin dan tranfusi darah secukupnya. Diberikan vasopresin 2 amp. 0,1 g dalam 500 cc cairan d 5 % atau salin pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali. Dilakukan pemasangan SB tube untuk menghentikan perdarahan varises. Dapat dilakukan skleroterapi sesudah dilakukan endoskopi kalau ternyata perdarahan berasal dari pecahnya varises. Operasi pintas dilakukan pada child AB atau dilakukan transeksi esophagus (operasi Tannerso). Bila tersedia fasilitas dapat dilakukan foto koagulasi dengan laser dan heat probe. Bila tidak tersedia fasilitas diatas, untuk mencegah rebleeding dapat diberikan propanolol.
c. Untuk ensefalopati dilakukan koreksi factor pencetus seperti pemberian KCL pada hipokalemia, aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada varises, dilakukan klisma, pemberian neomisin per oral. Pada saat ini sudah mulai dikembangkan transplantasi hati dengan menggunakan bahan Cadaveric Liver.
d. Terapi yang diberikan berupa antibiotic seperti cefotaxime 2 g/8 jam I.V. amoxicillin, aminoglikosida.
e. Sindrom hepatorenal/nefropati hepatic, terapinya adalah imbangan air dan garam diatur dengan ketat, atasi infeksi dengan pemberian antibiotic, dicoba melakukan parasentesis abdominal dengan ekstra hati-hati untuk memperbaiki aliran vena cava, sehingga timbul perbaikan pada curah jantung dan fungsi ginjal.

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang muncul pada sirosis hepatis adalah sebagai berikut:

1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
Tujuan/Kriteria Hasil: Status nutrisi baik.
Intervensi:
- Kaji intake diet, ukur pemasukan diet, timbang BB tiap minggu.
Rasional: Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet.
- Berikan makanan sedikit dan sering sesuai dengan diet.
Rasional: Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremik.
- Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan cultural.
Rasional : Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, maka dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
- Motivasi pasien untuk menghabiskan diet, anjurkan makan makanan lunak.
Rasional : Membantu proses pencernaan dan mudah dalam penyerapan makanan, karena pasien mengalami gangguan system pencernaan.
- Berikan diet 1700 kkal (sesuai terapi) dengan tinggi serat dan tinggi karbohidrat.
Rasional : Pengendalian asupan kalori total untuk mencapai dan mempertahankan berat badan sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah.
- Berikan obat sesuai dengan indikasi : tambahan vitamin, thiamin, besi, asam folat dan enzim pencernaan.
Rasional : Hati yang rusak tidak dapat menyimpan vitamin A, B komplek, D dan K, juga terjadi kekurangan besi dan asam folat yang menimbulkan anemia.
- Kolaborasi pemberian antiemetic.
Rasional : Untuk menghilangkan mual/muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
Tujuan/Kriteria hasil : peningkatan energy dan partisipasi dalam aktivitas.
Intervensi :
- Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
Rasional : Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.
- Berikan suplemen vitamin (A, B komplek, C dan K).
Rasional : Memberikan nutrien tambahan.
- Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat.
Rasional : Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.
- Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap.
Rasional : Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema.
Tujuan/Kriteria hasil : Integritas kulit baik.
Intervensi :
- Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
Rasional : Jaringan dan kulit yang edematous mengganggu suplai nutrient dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
- Ubah posisi tidur pasien dengan sering.
Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.
- Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
Rasional : Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.
- Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematous.
Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema.

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C, dkk. (2001). Keperawatan Medikal Bedah 2. Edisi 8. Jakarta.
Doenges, Marilynn E, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.
Tjokonegoro, dkk. (1996). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. FKUI. Jakarta.
Price, Sylvia A, dkk. (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Jakarta.
Soeparman. (1987). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. FKUI. Jakarta
---------------------------------------------------------------------------------------------------

ASKEP KEJANG DEMAM

DEFINISI KEJANG DEMAM
Kejang demam adalah kebangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% daripada anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderitanya (Millichap, 1968) (Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2002).
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,1996).
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang disebabkan oleh kelainan ekstrakranial. Derajat tinggi suhu yang dianggap cukup untuk diagnosa kejang demam adalah 380C atau lebih (Soetomenggolo, 1989; Lumbantobing, 1995). Kejang terjadi akibat loncatan listrik abnormal dari sekelompok neuron otak yang mendadak dan lebih dari biasanya, yang meluas ke neuron sekitarnya atau dari substansia grasia ke substansia alba yang disebabkan oleh demam dari luar otak (Freeman, 1980).
ETIOLOGI
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis media akut(cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes ke saraf di kepala pada otak akan menyebabkan kejang demam), pneumonia(Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Saat ini makin banyak saja virus yang berhasil diidentifikasi. Meski virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas-terutama pada anak-anak- gangguan ini bisa memicu pneumonia. Untunglah, sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus influensa, gangguan bisa berat dan kadang menyebabkan kematian, Virus yang menginfeksi paru akan berkembang biak walau tidak terlihat jaringan paru yang dipenuhi cairan. Gejala Pneumonia oleh virus sama saja dengan influensa, yaitu demam, batuk kering sakit kepala, ngilu diseluruh tubuh. Dan letih lesu, selama 12 ? 136 jam, napas menjadi sesak, batuk makin hebat dan menghasilkan sejumlah lendir. Demam tinggi kadang membuat bibir menjadi biru), gastroenteritis akut, exantema subitum (Penyakit eksantema virus yang sering menyerang bayi (infants) dan anak-anak (young children). Ditandai dengan demam tinggi yang mendadak dan sakit tenggorokan ringan. Beberapa hari kemudian terdapat suatu faint pinkish rash yng berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa hari.
) salah satu komplikasinya adalah kejang demam, bronchitis, dan infeksi saluran kemih (Goodridge, 1987; Soetomenggolo, 1989). Selain itu juga infeksi diluar susunan syaraf pusat seperti tonsillitis, faringitis, forunkulosis serta pasca imunisasi DPT (pertusis) dan campak (morbili) dapat menyebabkan kejang demam.
Faktor lain yang mungkin berperan terhadap terjadinya kejang demam adalah :
1. Produk toksik mikroorganisme terhadap otak (shigellosis, salmonellosis)
2. Respon alergi atau keadaan imun yang abnormal oleh karena infeksi.
3. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit.
4. Gabungan dari faktor-faktor diatas.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang demam berulang antara lain:
1. Usia < 15 bulan saat kejang demam pertama
2. Riwayat kejang demam dalam keluarga
3. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam atau saat suhu sudah relatif normal
4. Riwayat demam yang sering
5. Kejang pertama adalah complex febrile seizure
Perbedaan kejang demam dengan epilepsi yaitu pada epilepsi, tidak disertai demam. Epilepsi merupakan faktor bawaan yang disebabkan karena gangguan keseimbangan kimiawi sel-sel otak yang mencetuskan muatan listrik berlebihan di otak secara tiba-tiba. Penderita epilepsi adalah seseorang yang mempunyai bawaan ambang rangsang rendah terhadap cetusan tersebut. Cetusan bisa di beberapa bagian otak dan gejalanya beraneka ragam. Serangan epilepsi sering terjadi pada saat ia mengalami stres, jiwanya tertekan, sangat capai, atau adakalanya karena terkena sinar lampu yang tajam.
PATOFISIOLOGI
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan


Pada keadaan demam, kenaikan suhu 10C akan menyebabkan kenaikan metabolisme basal (jumlah minimal energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi vital tubuh) sebanyak 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Pada anak balita aliran darah ke otak mencapai 65% dari aliran darah ke seluruh tubuh, sedangkan pada orang dewasa aliran darah ke otak hanya 15%. Jadi, pada balita dengan kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun natrium melalui membran sel neuron tadi, sehingga mengakibatkan terjadinya pelepasan muatan listrik. Besarnya muatan listrik yang terlepas sehingga dapat meluas/menyebar ke seluruh sel maupun ke membran sel lainnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter. Akibatnya terjadi kekakuan otot sehingga terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak. Ada anak yang ambang kejangnya rendah, kejang telah terjadi pada suhu 380C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 400C.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan laboratorium
Perlu diadakan pemeriksaan laboratorium segera, berupa pemeriksaan gula dengan cara dextrosfrx dan fungsi lumbal. Hal ini berguna untuk menentukan sikap terhadap pengobatan hipoglikemia dan meningitis bakterilisasi. Selain itu pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu:
1. Pemeriksaan darah rutin ; Hb, Ht dan Trombosit. Pemeriksaan darah rutin secara berkala penting untuk memantau pendarahan intraventikuler.
2. Pemeriksaan gula darah, kalsium, magnesium, kalium, urea, nitrogen, amonia dan analisis gas darah.
3. Fungsi lumbal, untuk menentukan perdarahan, peradangan, pemeriksaan kimia. Bila cairan serebro spinal berdarah, sebagian cairan harus diputar, dan bila cairan supranatan berwarna kuning menandakan adanya xantrokromia. Untuk mengatasi terjadinya trauma pada fungsi lumbal dapat di kerjakan hitung butir darah merah pada ketiga tabung yang diisi cairan serebro spinal
4. Pemeriksaan EKG dapat mendekteksi adanya hipokalsemia
5. Pemeriksaan EEG penting untuk menegakkan diagnosa kejang. EEG juga diperlukan untuk menentukan pragnosis pada bayi cukup bulan. Bayi yang menunjukkan EEG latar belakang abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau dengan brust supresion atau bentuk isoelektrik. Mempunyai prognosis yang tidak baik dan hanya 12 % diantaranya mempunyai / menunjukkan perkembangan normal. Pemeriksaan EEG dapat juga digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan. EEG pada bayi prematur dengan kejang tidak dapat meramalkan prognosis.
6. Bila terdapat indikasi, pemeriksaan lab, dilanjutkan untuk mendapatkan diagnosis yang pasti yaitu mencakup :
MANIFESTASI KLINIK
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Namun anak akan terbangun dan sadar kembali setelah beberapa detik atau menit tanpa adanya kelainan neurologik.
Gejala yang mungkin timbul saat anak mengalami Kejang Demam antara lain : anak mengalami demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tiba-tiba), kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam).
Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.
Saat kejang, anak akan mengalami berbagai macam gejala seperti :
1. Anak hilang kesadaran
2. Tangan dan kaki kaku atau tersentak-sentak
3. Sulit bernapas
4. Busa di mulut
5. Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan
6. Mata berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat.
Livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:
1. Kejang demam sederhana (simple febrile confulsion)
2. Epilepsi yang di provokasi oleh demam (epilepsy triggered of by fever)
Kriteria livingston tersebut setelah dimodifikasi dipakai sebagai sebuah pedoman untuk membuat diagnosa kejang demam sederhana yaitu:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang demam normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukan kelainan
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria modifikasi Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam, kejang ini mempunyai suatu dasar kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan demam hanya merupakan faktor pencetus saja.
1. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN
Dalam penanggulangan kejang demam ada 6 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :
1. Mengatasi kejang secepat mungkin
2. Pengobatan penunjang
3. Memberikan pengobatan rumat
4. Mencari dan mengobati penyebab
5. Mencegah terjadinya kejang dengan cara anak jangan sampai panas
6. Pengobatan akut
7. Mengatasi kejang secepat mungkin
Sebagai orang tua jika mengetahui seorang kejang demam, tindakan yang perlu kita lakukan secepat mungkin adalah semua pakaian yang ketat dibuka. Kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung. Penting sekali mengusahakan jalan nafas yang bebas agar oksigenasi terjamin. Dan bisa juga diberikan sesuatu benda yang bisa digigit seperti kain, sendok balut kain yang berguna mencegah tergigitnya lidah atau tertutupnya jalan nafas. Bila suhu penderita meninggi, dapat dilakukan kompres dengan es/alkohol atau dapat juga diberi obat penurun panas/antipiretik
ASUHAN KEPERAWATAN
1. 1. Pengkajian
1. Aktivitas / istirahat : keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus / kekuatan otot. Gerakan involunter
2. Sirkulasi : peningkatan nadi, sianosis, tanda vital tidak normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan
3. Integritas ego : stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan dan atau penanganan, peka rangsangan.
4. Eliminasi : inkontinensia episodik, peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinkter
5. Makanan / cairan : sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak / gigi
6. Neurosensor : aktivitas kejang berulang, riwayat truma kepala dan infeksi serebra
7. g. Riwayat jatuh / trauma
1. 2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1) Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
2) Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neoromuskular
3) Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
Intervensi
Diagnosa 1
Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot
Tujuan:Cidera/trauma tidak terjadi
Kriteria hasil:Faktor penyebab diketahui, mempertahankan aturan pengobatan, meningkatkan keamanan lingkungan
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
1. Kaji dengan keluarga berbagai stimulus pencetus kejang.
2. Observasi keadaan umum, sebelum, selama, dan sesudah kejang.
3. Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali terjadi.
4. Lakukan penilaian neurology, tanda-tanda vital setelah kejang.
5. Lindungi klien dari trauma atau kejang.
6. Berikan kenyamanan bagi klien.
Kolaborasi
7. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi anti compulsan 1. Demam, berbagai obat dan stimulasi lain (spt kurang tidur, lampu yang terlalu terang) dapat meningkatkan aktivitas otak, yang selanjutnya meningkatkan risiko terjadinya kejang.
2. membedakan tanda dan gejala kejang sebelum, selama, dan sesudah kejang untuk mengetahui seberapa besar tingkat kerusakan pada klien
3. membantu untuk melokalisasi daerah otak yang terkena
4. mencatat keadaan posiktal dan waktu penyembuhan pada keadaan normal
5. mencegah terjadinya cedera pasca kejang
6. dengan adanya rasa nyaman klien akan merasa lebih tenang dan dengan adanya rasa nyaman ini akan membantu dalam proses penyembuhan.
7. untuk mencegah terjadinya kejang berulang
Evaluasi
Trauma tidak terjadi
Diagnosa 2
Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neuromuskular
Tujuan:Inefektifitasnya bersihan jalan napas
Kriteria hasil :Jalan napas bersih dari sumbatan, suara napas vesikuler, sekresi mukosa tidak ada, RR dalam batas normal
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
1. Observasi tanda-tanda vital, atur posisi tidur klien fowler atau semi fowler.
2. Lakukan penghisapan lendir,
3. hindari hiperekstensi leher
Kolaborasi
4. kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi O2 1.. tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien, posisi fowler/semifowler dapat meningkatkan ekspansi dada maksimal, membuat mudah bernapas sehingga meningkatkan kenyamanan.
2. mencegah terjadinya penumpukan lendir, dan mempermudah jalan napas.
3. dapat menghambat jalan napas
4. pemberian terapi bertujuan untuk mempertahankan PaO2 di atas 60 mmHg.
Evaluasi
Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi
Diagnosa 3
Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
Tujuan:Aktivitas kejang tidak berulang
Kriteria hasil:Kejang dapat dikontrol, suhu tubuh kembali normal
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji factor pencetus kejang.
2. Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien.
3. Observasi tanda-tanda vital.
4. Lindungi anak dari trauma.
5. Berikan kompres dingin pada daerah dahi dan ketiak.
1. mencegah terjadinya peningkatan aktifitas otak yang selanjutnya dapat meningkatkan risiko terjadinya kejang.
2. keterlibatan keluarga sangat berarti dalam proses penyembuhan pasien anak dan mempererat hubungan psikologis anak dengan orang tua 
3.tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
4.mencegah terjadinya cedera pasca kejang 
5kompres dingin dapat atau akan
menurunkan suhu tubuh

Evaluasi:Aktivitas kejang tidak berulang
---------------------------------------------------------------------------------
DISSEMINATED INTRAVASKULAR COAGULATION ( DIC )
Written by Ns. Erwin, S.Kep

DIC sebenarnya bukanlah nama diagnosa suatu penyakit dan DIC terjadi selalu mengindikasikan adanya penyakit yang menjadi penyebabnya. Ada banyak sekali penyebab terjadinya DIC.



DIC ditandai dengan aktivasi sistemik dari system pembekuan darah, yang menyebabkan reaksi generasi dan deposisi (pengendapan ) dari fibrin, menimbulkan thrombus microvaskuler di organ-organ tubuh sehingga menyebabkan terjadinya multi organ failure. ( Levi, 1999 )





PATHOFISIOLOGI



Beberapa mekanisme yang terjadi secara terus menerus pada DIC, penyebab utama terjadinya deposisi fibrin adalah



1. Faktor jaringan, penyebab terjadinya generasi trombin
2. Kegagalan fisiologis mekanisme antikoagulan, seperti sistem antithrombin dan sistem protein C yang menurunkan keseimbangan generasi thrombin.
3. Gagalnya fibrin removal yang menyebabkan penurunan sistem fibrinolitik, perburukan thrombolisis endogenous terutama disebabkan oleh tingginya tingkat sirkulasi dari fibrinolitik PAI-1, aktifitas fibrinolitic meningkat dan menyebabkan perdarahan.

MORTALITAS / MORBIDI

Kenyataannya, untuk kepentingan klinik dari penurunan platelet dan faktor koagulasi pada pasien dengan perdarahan atau pada pasien yang membutuhkan prosedur invasive sudah jelas, namun deposisi fibrin intravaskuler sebagai hasil dari aktivasikoagulasi sistemik dapat menyebabkan kegagalan organ dan mengakibatkan kematian.

Komplikasi thrombotik pada pasien DIC kadang kala terlihat, seperti acral sianosis, perdarahan infark pada kulit, limb Ischemia.

DIC merupakan prediktor independen mortalitas pada pasien dengan sepsis dan trauma berat, peningkatan beratnya DIC berhubungan langsung dengan peningkatan mortalitas.

DIC dapat terjadi pada semua jenis ras atau suku dan tidak ada batasan umur dan jenis kelamin.

KLINIS

Gejala DIC sering berhubungan langsung dengan kondisi penyebabnya, adanya riwayat perdarahan dan hipovolume seperti perdarahan gastro intestin dan gejala dan tanda thrombisis pada pembuluh darah yang besar seperti DVT dan thrombosis mikrovaskuler seperti gagal ginjal, perdarahan dari setidaknya 3 daerah yang tidak berhubungan langsung dengan DIC seperti :

- Epistaksis

- Perdarahan gusi

- Perdarahan Mukosal

- Batuk

- Dyspnea

- Bingung, disorientasi

- Demam

Kondisi yang dapat terjadi DIC antara lain :

- Sepsis atau infeksi yang berat

- Trauma ( Polytrauma, neurotrauma, emboli lemak )

- Kerusakan organ ( Pankreatitis berat )

- Malignancy ( Penyakit yang kondisinya buruk )

o Tumor padat

o Myeloproliferative/ lymphoproliferatif malignan

- Kehamilan yang sulit

o Emboli caitran amniotik

o Plasenta abrupsio

- Kelainan Vaskuler

o Kasaback-mereritt syndrom

o Aneurisma vaskuler yang besar

- Kerusakan hepar berat

- Reaksi toxic atau imunologi yang berat

o Digigit ular

o Penggunaan obat-obatan terlarang

o Reaksi transfusi

o Kegagalan tranplantasi

PENYEBAB DAN KEADAAN FISIK PASIEN

Penyebab DIC dapat diklasifikasikan kedalam Akut atau kronik, sistemik atau lokal dan DIC dapat menyebabkan kondisi tunggal atau kondisi yang multiple.

Pada DIC yang akut, tetap tergantung dari penyebab terjadinya DIC

- Infeksi

o Bacteri ( gram negatif sepsis, gram positif infeksi )

o Viral ( HIV, varicella, Hepatitis )

o Fungal ( Histoplasma )

o Parasitik ( Malaria )

- Malignansi

o Hematologi ( akut myelositis leukemia)

o Metastatik ( Mucin-sekresi adenokarsinoma )

- Kehamilan

o Abrupsi palsenta

o Emboli cairan amniotik

o Eklmasia

- Trauma

- Luka bakar

- Kecelakaan kendaraan bermotor

- Keracunan bisa ular

- Transfusi

- Reaksi hemolitik

- T4ransfusi masiive

- Penyakit liver- gagal hepar acut

- Pemasangan alat bantu prostetik

- Alat bantu fungsi ventrikel

Pada DIC yang kronik atau subakut dijumpai : thrombosis pada thrombin formasi dan muncul tanda dan gejala tromboembolis vena.

- Sirkulasi

o Tanda perdarahan spontan atau yang mengancam jiwa

o Tanda perdarahan subacut

o Tanda thrombosis lokal atau meluas

- Sistem syaraf Pusat

o Penurunan kesadaran tidak spesifik atau stupor

o Penurunan focal tapi jarang terjadi/ditemui

- Kardiovaskuler sistem

o Hipotensi

o Tachikardi

o Sirkulasi kolaps

- Sistem pernafasan

o Ada Pleural Frictio rub

o Tanda ARDS

- Sistem Gastrointestinal

o Hematemesis

o Hematochezia

- Sistem Genitourinari

o Tanda azotemia dan gagal ginjal

o Asidosis

o Hematuria

o Oliguria

o Metoragia

o Perdarahan Uterin

- Sistem Dermatology

o Petechie

o Purpura

o Bula hemorragie

o Nekrosis kulit tungkai bawah (purpura fulminan)

o Infark lokal dan gangren

o Perdarahan luka dan perdarahan subkutanius dalam

o thrombosis

Ada dua penyebab utama terjadinya DIC yaitu :

1. Respon inflamasi sistemik, menyebabkan aktivasi cytokine menimbulkan aktivasi koagulasi ( sepsis, trauma mayor ).
2. Pelepasan atau penyebaran material (fat, phospolipid ) prokoagulan kedalam pembuluh darah ( kanker, kasus kehamilan )

Pada keadaan tertentu kedua penyebab diatas dapat terjadi secara bersamaan seperti pada kasus trauma mayor atau nekrotik pankreatitis berat. Ada beberapa kondisi lain yang dapat menyebabkan DIC yaitu :

1. Infeksi bakteri
2. Trauma berat
3. Tumor padat dan hematologic malignan
4. Obstetrik kalaminis ( Abrupsi placenta, emboli cairan omnion )
5. Kerusakan vaskuler
6. Penyebab lain termasuk keracunan berat atau reaksi imunologi ( Reaksi transfusi ) atau reaksi inflamasi ( Acut pankreatitis )

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tidak ada pemeriksaan yang spesifik dan sensitif untuk menegakkan DIC, namun ada pemeriksaan yang dapat dikerjakan :

- Marker molekul koagulasi atau fibrin formasi

- Prothrombin activation fragment PF1+2

- PT, aPTT, Antithrombin, FDPs.

- Clotting time

- Factor pembekuan

- Fibrinogen

- D-dimer

- Thrombin time

- Protamin test

- Anemia

- Penurunan Factor pembekuan ( Faktor V,VIII, X, XIII, Protein C )

- Hemoglobinuria

- Hematuri

Tidak ada pemeriksaan diagnostik single untuk menegakkan DIC dan harus diikuti dengan kombinasi pemeriksaan : kondisi klinik yang berhubungan dengan DIC, Thrombocytopenia ( < 100 x 109/L), PT dan aPTT yang memanjang dan adanya FDP atau D-dimer, pemeriksaan lainnya hanya penyokong.

PENGOBATAN DAN PERAWATAN

- Penyakit penyebab

o Langkah awal adalah mengobati penyakit penyebabnya

- Strategi pengobatan tambahan

o Tranfusi platelet dan komponen plasma

§ Diindikasikan pada pasien yang mengalami perdarahan dan yang membutuhkan prosedur tindakan invasive atau pada yang mengalami komplikasi perdarahan

§ Pemberian factor koagulasi konsentrat

§ Ulangi pemeriksaan PT,aPTT, jika terjadi defisit vik K, maka diberikan Vit K

§ Transfusi platelet dapat diberikan pada pasien yang mengalami thrombositopenia berat khususnya pada pasien yang mengalami perdarahan atau resiko perdarahan

o Therapi antikoagulan

§ Pemberian heparin

Penanganan DIC pada situasi emergensi :

- Lakukan pengkajian pre-hospital

- Lakukan penangan gejala yang mengancan jiwa seperti bersihan jalan nafas atau perdarahan berat

- Tentukan penyebab DIC dan tentukan therapinya

- Lakukan pemeriksaan lab

- Beri obat antikoagulan sesuai indikasi

- Beri komponen darah sesui indikasi

o Transfusi RBC

o Platelet konsentrat

o Fresh fozen plasma

o Antithrombin III konsentrat

Konsultasi

- Konsul hematoligis

- Konsul ke spesialis transfusi

- Konsul ke spesialis kritikal care jika terdapat multiple organ failure

- Lakukan konsultasi jika terjadi komplikasi atau kondisi yang mengancam jiwa

Perawatan pasien di rumah sakit

- kebanyakan pasien dengan DIC membutuhkan perawatan kritikal untuk primer diagnosa dan kadang membutuhkan tindakan emergensi bedah

- parameter klinis dan laboratorium harus dinilai setiap 8 jam

Perawatan pasien diluar pelayanan kesehatan

- Pasien yang recoveri dari DIC harus kontrol ke dokternya atau ke hematolog

- Pada pasien yang DIC resiko rendah atau atau yang kronis harus kontrol ke hematolog setelah kondisinya stabil

KOMPLIKASI

- Kematian

- Disfungsi organ dan limb ischemia dapat terjadi

- Perdarahan

- Gagal ginjal akut

- Cardiac tamponade

- Hematothorak

- Hematoma intracerebra

- Gangren

PROGNOSIS

- Tergantung masalah penyebabnya

DIAGNOSA PERAWATAN PADA DIC

1. Resiko tinggi terjadi perdarahan
2. Resiko tinggi penurunan kesadaran
3. Resiko tinggi gangguan integritas kulit
4. Resiko tinggi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
5. Resiko tinggi gangguan thermodelusi
6. Resiko tinggi gangguan pola nafas dan pertukaran gas
7. Intoleransi aktifitas

CASE STUDY

- Tn. X / laki-laki/ 55 tahun

- Masuk rawat karena nyeri dada, terasa berat kurang lebih 30 menit, keringat dingin

- Didiagnosa acut non-stemi ( 2 Juli 2006 )

- Faktor resiko ext merokok

- Pemeriksaan echo kardiografi :

o Fraksi ejeksi 69 %, global normokinetik, kelainan katup tidak ada

- Dilakukan catheteterisasi, dengan hasil :

o Left main pendek

o LAD prox 80 – 90 % stenosis

o LCX prox 50 – 60 % stenosis, distal 80 % stenosis

- Kondisi Selama dirawat ( di ruang emergensi ):

o Tekanan darah sistolik 100 – 135 mmhg. Diastolik 60 – 80 x permenit RR 18- 22 x permenit, tidak megalami gangguan suhu tubuh.

o Hasil laboratorium dalam batas normal kecuali :

§ Leukosit 19.700

§ CKMB 23, Trop-T 0,18

o Gambaran EKG

§ Sinus ritme, QRS rate 60 x permenit, axis normal, P wave Normal, PR int 0,12mm, QRS dur 0,08mm, ST Depres I,II,aVL, V3 – V6

o Thorak foto dalam batas normal

o Dengan therapi yng diberikan

§ Aspilet 1 x 80 mg

§ Arixtra 1 x 2,5 mg ( Inj )

§ Simvastatin 1 x 20 mg

§ Farsorbid 3 x 10 mg

§ Norvask 1 x 5 mg

§ Laxadine 1 x cI

§ Diazepam 1 x 5 mg

Pasien dirawat di intensive care karena infarc miocard ( 2 Juli – 4 Juli 2006 )

Kondisi selama dirawat di Intensive care :

- Keluhan hari I nyeri masih menetap, hari ke-2 dan ke-3 nyeri berkurang dan hilang

- Tekanan darah stabil, sistole 110 – 135 mmhg, diastole 50 – 75 mmhg, Hr 60 – 75 x permenit, suhu tubuh 36, 5 oC – 37,8oC

- Hasil laboratorium tidak ada perubahan yang berarti dari pemeriksaan sebelumnya, dilakukan pemeriksaan tambahan pada lipid profile namun hasilnya dalam batas normal, dan dilakukan kultur darah hasilnyapun steril

- Therapy tambahan :

o Amikin 1 x 500 mg (inj )

o Ceftazidine 1 gr/12 jam

o Cedocard drip 1 mg per jam ( distop hari ke-2 di intensive care )

- Hari ke-3 ( 4 Juli 2006 ) pasien pindah ke ruang rawat biasa.



Diruang rawat biasa kondisi pasien stabil kemudian dilakukan tindakan catheterisasi ( 7 Juli 2006 dengan hasil yang tersebut diatas, kemudian pasien dipulangkan ( 8 Juli 2006 ) dengan therapy yang didapat :

- thromboaspilet 1 x 80 mg

- norvask 1 x 5 mg

- simvastatin 1 x 20 mg

- maintate 1 x 2,5 mg

- laxadine 1 x cI

- diazepam 1 x 5 mg

- plavix 1 x 75 mg

Selama perawatan pasien mendapatkan inj Arixtra 1 x 2,5 mg sebanyak 5 kali

Therapy : amikin inj 1 x 500 mg dan ceftazidine 1 gr/12 jam di hentikan hari ke-5 perawatan ( 7 Juli 2006 ) karena kondisi yang sudah baik.

Selama perawatan, diagnosa perawatan yang muncul :

- Gangguan rasa nyaman nyeri

- Penurunan perfusi jaringan miocard

- Keterbatasan aktifitas

- Resiko tinggi penurunan curah jantung

- Resiko tinggi infeksi

Semua masalah perawatan dapat diatasi

Pasien masuk masuk rawat kembali tanggal 24 Juli 2006 untuk dilakukan operasi CABG yang terjadwal tanggal 26 Juli 2006

Kondisi pre-operasi :

- Keluhan tidak ada

- Tekanan darah 100 – 135 mmhg, diastole 60 – 80 mmhg, HR 60 – 68 x permenit, RR 18- 22 x permenit, T 35,8 – 36,5 oC

- Hasil pemeriksan laboratoruium : Hb 14,7 Leuko 10.600, Ht 42, Thrombo 378, BT 2, Ct 4, PT 11,7 aPTT 33,9 Fibrinogen 340, fungsi liver dalam batas normal, lipid profile dalam batas normal, elektrolit dalam batas normal.



Masalah perawatan yang muncul saat pre- op :

- kecemasan

- resiko nyeri dada



tanggal 26 Juli 2006 dilakukan operasi

- Masalah di ruang operasi terjadi perdarahan akibat trauma pembuluh darah balik koroner dan sulit diatasi ( stabilisator mengenai vena koroner )

- Hasil laboratorium hb 9,1, leuko 18.300, ht 26, thromb 188, PT 14,2, aPTT 35,1, Fibrinogen 350, CKMB 51, CK 2146, GDS 195, elektrolit dalam batas normal.

- Total cairan yang diberikan :

o Crystalloid 1750 cc

o Colloid 1000 cc

- Total darah yang keluar 1000 cc

- Selama perawatan di ICU tidak ada masalah

o Drainase rata 10 cc perjam



Pasien pindah ke intermediate Bedah

- Selama di IW kondisi stabil

- Masalah yang terjadi pencabutan dini drain intrapelura kiri sehingga terjadi efusi pleura, dilakukan pemasangan kembali drain di intrapleura kiri dengan total perdarahan 900 cc

- total pemberian transfusi darah 750 cc FFP

Masalah perawatan di Intermedite Bedah :

- Perdarahan masive luka operasi

- Resiko infeksi luka operasi

- Resiko tinggi penurunan curah jantung

- Resiko tinggi gangguan irama jantung

- Keterbatasan aktifitas

Hari ke- 6 pasca operasi pasien di pindahkan ke ruang rawat biasa ( 1 Agustus 2006 )

Masalah yang terjadi selama di ruang rawat :

- Keadan umum baik, keluhan badan sakit semua dan terasa badan lemah untuk beraktifitas, batuk, dan nyeri luka operasi, warna kotoran BAB warna hitam

- Kondisi haemodinamik TD sistolik 110 – 140 mmhg, diastolik 60-80 mmhg, RR 18 – 25 x permenit, T 36.3 – 36, 8oC

- Kondisi Luka operasi, tanda – tanda infeksi tidak ada

- Therapi yang diberikan :

o Panadol K/P

o Ranitidine K/P

o Maintate 1 x 2,5 mg

o Norvask 1 x 5 mg

o Theragram gold 2 x 1 tb

o Enzymplek 3 x 1 cps ( stop tgl 4 Agustus/ hari ke-9 post op )

o Cybuyen 3 x 1 tb ( rencana 7 hari tapi distop hari 7 post op, karena BAB hitam )

o Esilgan 1 x 2 mg

o Nebulezer;bisolvon:NaCl (1:1:1) 3x perhari

o Lasix tab k/p

o Ascardia 1 x 80 mg ( di stop hari 7 post op karena BAB hitam )

o OMZ k/p

o Inj Maxipim 3 x 1 gr ( distop hari ke 15 post op )

o Inj Ranitidine 2 x 1 amp ( distop hari 15 post op )

o Methylkobal 3 x 500 mg

- Dilakukan test darah samar hasil (+) dan pemeriksaan lab terakhir ( hari 11 – hari 17 post op / tgl 6 – 11 Agust 2006 )

o Hb 11.0 --- 11,2 --- 11,9

o Leukosit 18900 ----- 15200--- 13500

o Hematokrit 32------------------------ 36

o PT 13,5 --- 13,3

o aPTT 27,1---

o Fibrinogen 536--- 473

o D-dimer 2200--- 1600

o AT III 122

- Dilakukan test darah samar terakhir 10 Agust 2006 hasil negatif

- Pasien dipulangkan dengan therapi

o Maintate 1 x 2,5 mg

o Norvask 1 x 5 mg

o Theragram gold 1 x 1tb

o Omz 2 x 1 cps

o Esilgan 1 x 2 mg

o Neurobion 1 x 500mg

o Methylcobalt 3 x 1 tb

Masalah Perawatan yang muncul saat perawatan :

1. Perdarahan lambung
2. Resiko tinggi infeksi luka op
3. Gangguan rasa nyaman nyeri luka op dan batuk
4. Keterbatasan Aktifitas

Tindakan Perawatan

1. Mengurangi resiko trauma
2. Observasi ketat tanda perdarahan berlanjut
3. Perawatan luka operasi untuk mencegah terjadi infeksi
4. Observasi ketat perubahan parameter hemodinamik
5. Observasi asupan nutrisi dan eliminasi
6. Observasi dan motivasi pasien untuk mobilisasi sesuai protokol rehabilitasi post operasi CABG
7. Konsultasi ke dokter segera bila di temukan tanda dan gejala perdarahan berlanjut

RUJUKAN

1. Disseminated Intravascular Coagulation, MD. PhD. Levi M, Juni 2006 (www.emedicine.com/med/topic577.htm)

2. Medical encyclopedia, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC),

(www. nlm.nih.gov/medlineplus/print/ency/article/000573.htm), agustus 2006

3. Medical encyclopedia, Blood Clot Formation,

(www. nlm.nih.gov/medlineplus/print/ency/article/19462.htm), agustus 2006

4. Medical encyclopedia, Meningococcemia on the Calves and legs

(www. nlm.nih.gov/medlineplus/print/ency/article/2883-4.htm), agustus 2006

5. Disseminated Intravascular Coagulation, MD. F. A Marly Juni 2006 (www.emedicine.com/emerg/topic150.htm)

6. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Guyton. A.D dan Hall J.E. 1990

Download MARS PPNI

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons