Jakarta - Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menegaskan perawat harus memiliki payung hukum yang jelas. Chusnunia mengingatkan jangan sampai terjadi masalah RUU Keperawatan dilenyapkan dan berubah menjadi RUU Tenaga Kesehatan.
"Sekalipun menjadi inisiatif DPR ternyata kebiasaan melenyapkan sesuatu yang sudah disepakati terjadi di DPR pada Sidang Paripurna 12 Oktober 2010 yang semena-mena menunda usulan Baleg, justru memasukkan RUU Tenaga Kesehatan menggantikan RUU Keperawatan yang sudah diinisiasi selama ini oleh DPR,” kata anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB, Chusnuni, dalam rilisnya, Rabu (15/6).
Menurut Chusnunia, perjuangan panjang perawat Indonesia untuk mendapatkan payung hukum lewat UU Keperawatan sebagaimana lazimnya negara lain terkesan terus dihambat. Dirinya mengatakan, pada awalnya RUU Keperawatan sudah menjadi prioritas no. urut 160 dalam Proglesnas 2004, no. urut 26 pada Proglesnas 2009, dan akhirnya menjadi inisiatif DPR menjadi no. urut 18 tahun 2010.
"Problem yuridis lainnya yang membuat beberapa kalangan menolak RUU Keperawatan, Chusnunia, yang dikenal sebagai praktisi politik perempuan FPKB ini berpendapat, adalah karena RUU Keperawatan tidak dimandatkan oleh konstitusi maupun oleh undang-undang lain sebagai sebuah persyaratan pembentukan sebuah UU," kata dia.
Bahkan, sambungnya, di dalam UU Kesehatan sendiri secara eksplisit yang diamanatkan untuk dibentuk adalah UU Tenaga Kesehatan dan bukan UU Keperawatan. Keperawatan dianggap sebagai bagian dari Tenaga Kesehatan.
“Selain soal yuridis, juga muncul tarik ulur kepentingan dibalik kontroversi RUU Keperawatan versus RUU Tenaga Kesehatan, yakni soal kelembagaan perawat dan ‘bisnis’ perizinan baik izin praktek perawat maupun juga ijin penyelenggaraan pendidikan perawat,” katanya.
Chusnunia menjelaskan, sudah sepatutnya negara membuat pengaturan yang kuat, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan perawat yang buruk dan tidak bertanggung jawab. Setidaknya melindungi para pemberi pelayanan pada masyakat, dengan tidak terbatas pada kondisi geografi dan strata sosial ekonomi serta berada pada semua seting pelayanan kesehatan.
Namun di sisi lain, tidak ada pengaturan yang kuat untuk menjamin kompetensi dan kualitas asuhan yang diberikan dan perlindungan dalam melayani masyarakat selama ini.
“Contoh kasus Misran yang pernah hangat hingga dibawa ke Mahkamah Konstitusi bulan Mei 2010 lalu. Kasus Perawat Misran di Kalimantan Timur adalah fakta tak terbantahkan betapa akan terancamnya pelayanan kesehatan pada daerah-daerah terpencil bila perawat selalui dihantui oleh resiko masalah hukum karena tidak ada pengaturan UU untuk perawat tersendi," papar Chusnunia. (Khresna Guntarto)
Narasumber
"Sekalipun menjadi inisiatif DPR ternyata kebiasaan melenyapkan sesuatu yang sudah disepakati terjadi di DPR pada Sidang Paripurna 12 Oktober 2010 yang semena-mena menunda usulan Baleg, justru memasukkan RUU Tenaga Kesehatan menggantikan RUU Keperawatan yang sudah diinisiasi selama ini oleh DPR,” kata anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB, Chusnuni, dalam rilisnya, Rabu (15/6).
Menurut Chusnunia, perjuangan panjang perawat Indonesia untuk mendapatkan payung hukum lewat UU Keperawatan sebagaimana lazimnya negara lain terkesan terus dihambat. Dirinya mengatakan, pada awalnya RUU Keperawatan sudah menjadi prioritas no. urut 160 dalam Proglesnas 2004, no. urut 26 pada Proglesnas 2009, dan akhirnya menjadi inisiatif DPR menjadi no. urut 18 tahun 2010.
"Problem yuridis lainnya yang membuat beberapa kalangan menolak RUU Keperawatan, Chusnunia, yang dikenal sebagai praktisi politik perempuan FPKB ini berpendapat, adalah karena RUU Keperawatan tidak dimandatkan oleh konstitusi maupun oleh undang-undang lain sebagai sebuah persyaratan pembentukan sebuah UU," kata dia.
Bahkan, sambungnya, di dalam UU Kesehatan sendiri secara eksplisit yang diamanatkan untuk dibentuk adalah UU Tenaga Kesehatan dan bukan UU Keperawatan. Keperawatan dianggap sebagai bagian dari Tenaga Kesehatan.
“Selain soal yuridis, juga muncul tarik ulur kepentingan dibalik kontroversi RUU Keperawatan versus RUU Tenaga Kesehatan, yakni soal kelembagaan perawat dan ‘bisnis’ perizinan baik izin praktek perawat maupun juga ijin penyelenggaraan pendidikan perawat,” katanya.
Chusnunia menjelaskan, sudah sepatutnya negara membuat pengaturan yang kuat, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan perawat yang buruk dan tidak bertanggung jawab. Setidaknya melindungi para pemberi pelayanan pada masyakat, dengan tidak terbatas pada kondisi geografi dan strata sosial ekonomi serta berada pada semua seting pelayanan kesehatan.
Namun di sisi lain, tidak ada pengaturan yang kuat untuk menjamin kompetensi dan kualitas asuhan yang diberikan dan perlindungan dalam melayani masyarakat selama ini.
“Contoh kasus Misran yang pernah hangat hingga dibawa ke Mahkamah Konstitusi bulan Mei 2010 lalu. Kasus Perawat Misran di Kalimantan Timur adalah fakta tak terbantahkan betapa akan terancamnya pelayanan kesehatan pada daerah-daerah terpencil bila perawat selalui dihantui oleh resiko masalah hukum karena tidak ada pengaturan UU untuk perawat tersendi," papar Chusnunia. (Khresna Guntarto)
Narasumber
0 komentar:
Posting Komentar