Kasus mantri Desa Kuala Samboja, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, Misran, yang dipidana 3 bulan karena dinilai memberikan pertolongan layaknya dokter hanyalah contoh satu kasus yang terungkap. Padahal, masih banyak kasus berlatar belakang serupa karena dipicu kesesatan peraturan.
"Kasus itu hanya salah satu contoh. Padahal masih banyak lagi kasus serupa," ujar sosiolog UI, Imam B Prasodjo, saat berbincang-bincang dengan detikcom, Sabtu (10/4/2010).
Dia memberikan contoh kasus di Purwakarta, Jawa Barat. Di kabupaten tersebut, ada sebuah SD yang memiliki berbagai kekurangan sehingga tukang kebon yang hanya lulusan SD pun menjadi guru. Jika menggunakan kacamata UU semata, jelas guru dadakan ini melanggar UU.
"Tapi kalau dia nggak mengajar, apa murid-murid SD tidak mendapat pendidikan? Meski secara aturan, hal tersebut melanggar Peraturan Menteri," ujar mantan anggota KPU ini.
Dia juga mencontohkan, kasus Suster Apung, yang terpaksa menggunakan infus kadaluarsa karena alasan keterbatasan barang. Alasan lain, jika tak
diinfus, maka pasien akan meninggal dunia. Sedangkan dengam infus kadaluarsa, maka pasien akan mempunyai harapan hidup.
"Apa iya, Suster Apung juga harus dipidana?," tanyanya.
Dari berbagai kasus diatas, Imam menyimpulkan ujung pangkal masalah adalah peraturan yang sesat. Peraturan tidak memikirkan kondisi lapangan, geografis dan penerapan dalam masyarakat. Bahkan, jika polisi, jaksa dan hakim tetap memutus hukuman, maka ada masalah serius di tubuh aparat.
"Sekarang begini, dalam hukumm Islam, babi haram. Tapi kalau darurat, maka boleh. Artinya, dalam keadaan normal, yang memberikan obat dan lainnya adalah dokter. Tapi kalau tenaga terbatas, dan masyarakat membutuhkan,
mengapa tidak?," kata Imam.
Karena ujung permasalahan adalah UU, maka Imam sangat setuju jika para mantri/bidan desa mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia berharap, MK memberikan putusan seadil-adilnya. "Saya harap, MK dapat menyelesaikan permasalahan ini dengan adil," pungkasnya.
Kasus mantri desa tersebut bermula ketika hakim PN Tenggarong yang diketuai oleh Bahuri, memvonis Misran dengan pidana 3 bulan penjara, denda Rp 2 juta rupiah subsider 1 bulan penjara pada 19 November 2009. Misram dianggap melanggar UU 36/2009 tentang Kesehatan, pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan.
Mirsam dinyatakan tak punya kewenangan memberikan pertolongan layaknya dokter. Merasa dizalimi, Misran akhirnya mengguat UU tersebut ke MK.
Sabtu, 08 Mei 2010
Mantri Tolong Orang Dipidana Sosiolog: Kasus Seperti Misran Banyak, Dipicu Kesesatan Aturan
20.50
PPNI Tapin
No comments
0 komentar:
Posting Komentar