Putusan itu sehubungan dikabulkannya permohonan uji materi yang diajukan oleh beberapa mantri para petugas Puskesmas di wilayah Kalimantan Timur, Misran dan kawan-kawan. "Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," kata ketua MK Mahfud MD, saat membacakan putusannya, di Gedung MK, Senin (27/6).
Menurut majelis hakim konstitusi, Pasal 108 Ayat (1) UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945. MK menilai frasa dalam pasal tersebut mengenai tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan adalah inkonstitusional alias tidak mengikat.
"Ketentuan itu tidak mengikat sepanjang tidak dimaknai, bahwa tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga kefarmasian dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien," papar majelis MK.
Menurut MK, perawat yang melakukan tugasnya dalam keadan darurat yang mengancam jiwa pasien diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien. Penjelasan Pasal 108 ayat 1 yang memberikan kewenangan terbatas menimbulkan keadaan dilematis. Serta mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum yang adil sehingga bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.
"Di satu sisi petugas kesehatan dengan kewenangan yang sangat terbatas harus menyelamatkan pasien dalam keadaan darurat, sedangkan disisi lain memberikan obat dibayangi oleh ketakutan terhadap ancaman pidana," ujar majelis MK.
Dalam pertimbangannya, dijelaskan bahwa akses ke fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia dengan berbagai kekhususannya sangat minim. Faktor penyebabnya, menurut MK, adalah luasnya negeri Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang juga terdapat masalah topografi, kemampuan keuangan negara untuk pengadaan infrastruktur.
Oleh sebab itu ketentuan mengenai ahli dan sesuai kewenangan menjadi kurang tepat diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. "terlebih lagi pernomaan yang terdapat di dalam penjelasan tersebut telah berimplikasi dikenakannya sanksi pidana terhadap pelanggarnya," kata majelis MK.
Salah satu pemohon, Misran, mengajukan permohonan ini karena sempat dihukum penjara lantaran dinilai hakim PN Tenggarong tidak punya kewenangan memberikan pertolongan layaknya dokter. Dia dituduh melanggar UU 3.6/ 2009 tentang Kesehatan pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan
Narasumber